Masjid Tuha Indrapuri, Cagar Budaya Bekas Candi yang Patut Dilestarikan  

Komunitas Arkeologi dan Kebudayaan Aceh (KAKA) yang sudah berdiri sejak 28 Februari 2014, melakukan kunjungan ke Masjid Tuha Indrapuri, Aceh Besar pada 5 Maret 2015. Letaknya tak jauh dari pasar Indrapuri atau sekitar 24 kilometer ke arah Utara dari Banda Aceh. Masjid itu dibangun di atas tanah seluas 33.875 m2.

Masjid Tuha Indrapuri di bangun pada abat ke-10 masehi. Sebelumnya, ketika zaman klasik di Indonesia berlangsung, Masjid Tuha Indrapuri ini merupakan bangunan candi. Perkiraan sementara, bangunan ini adalah peninggalan kerajaan Poli/ Puri yang kemudian disebut dengan kerajaan Lamuri oleh bangsa Arab dan Marcopolo menyebutnya dengan Lambri. Namun sayangnya, candi tersebut hanya disaksikan melalui tembok tebal, yang mengelilingi Masjid dengan bentuk berundak-rundak sebanyak tiga tingkat setinggi dua meter.

“Masjid ini merupakan tempat penobatan Sultan Aceh terakhir,  Tuanku Muhammad Daudsyah pada tahun 1978. Masjid ini adalah benteng pertahanan melawan Belanda pada masa Sultan Iskandar Muda,” jelas Muhammad Hasanuddin, Ketua bidang Arkeologi  KAKA.

Candi, biasanya dalam agama Hindu di buat berundak-rundak atas dasar kasta. Dalam agama hindu terdapat kasta besar seperti kesatria yang diperuntukkan untuk para bangsawan, kasta brahmana yang terdiri atas pemuka agama dan waisya serta sudra untuk masyarakat biasa. Masjid Tuha Indrapuri memiliki kontruksi bangunan yang sama dengan masjid tua lainnya di Indonesia spesialnya hanyalah masjid ini berada di atas bekas candi.

Pintu masuk masjid berada di sebelah Timur. Saat memasuki masjid ini, langsung tersaji pemandangan Masjid Tuha lengkap dengan atap bersusun tiga dengan ukuran makin mengecil ke atas. Di halaman masjid yang sudah di lantai, pada tingkat pertamanya tersaji kolam, yang sekarang digunakan untuk cuci kaki oleh para pengunjung yang shalat di sana.

Kolam tempat menampung air hujan yang digunakan untuk whuduk|Nita Juniarti

Kolam tempat menampung air hujan yang digunakan untuk whuduk|Nita Juniarti

Namun sayangnya, kolam ini karena airnya berasal dari air hujan jika tidak ada hujan maka airnya menjadi hijau dan berlumut apalagi sepertinya jarang di bersihkan.  Sebelum sampai masjid ada bak penampung air hujan yang dulunya merupakan tempat wudhu.

Saat masuk ke masjid, terdapat 36 tiang masjid yang seharusnya di bawahnya ada 36 buah umpak yang terbuat dari batu kali. Masjid Tuha Indrapuri sudah beberapa kali dipugar maka tidak heran, lantainya sudah tidak asli lagi, berganti dengan keramik, atapnya sudah diganti menjadi warna merah yang sebelumnya warna hijau.

Jika di tinjau dari ilmu arkeologi seharusnya jika melakukan pemugaran maka yang namanya benda cagar budaya harus seperti aslinya tidak boleh ada perubahan pada warna, bahan pengganti, apalagi bentuknya.

Tiang masjid terdiri atas empat buah soko guru yang berbentuk persegi delapan dengan 32 buah tiang untuk menyangga tiang yang berbentuk tumpang. Atap masjid ini mempunyai filosofi tersendiri.

“Muslim, ihsan, muhlish. Artinya sebagai orang Islam kita semakin ke atas maka yang kita fikirkan hanya Allah. Masjid yang seperti ini di Indonesia sangat banyak mengambil bentuk Gunung Meru,” jelas Ihsan.

Di masa lalu, masjid ini sama seperti masjid lainnya di Indonesia, digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas keagamaan misalnya majelis taklim, perayaan hari besar agama, dan lain-lain.

Kunjungan yang di lakukan ini, di harapkan generasi muda semakin mencintai peninggalan sejarah Aceh bahwa di Aceh tidak terputus sejarahnya, dari pra sejarah-klasik-Islam sampai zaman kemerdekaan dan hingga hari ini. Kata pepatah sih, jika tidak kenal maka tidak sayang, jika sudah kenal pasti terbayang-bayang. Ayo lestarikan sejarah kita. (*)

(Nita Juniarti adalah Pengurus Komunitas Arkeologi dan Kebudayaan Aceh (KAKA) bidang Sejarah dan Budaya).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *