Tsunami Aceh dan Kenangan Bersama Menteri Susi

AcehNews.net mendapat kepercayaan dari Senior Jurnalis Perempuan Indonesia, Uni Z. Lubis, Jumat (31/10), mempubliskan cerita menarik tentang  tsunami Aceh  yang membawa kenangan tersendiri bagi mantan Pemred ANTV yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Pers periode lalu, saat beliau melakukan kerja jurnalistiknya di Aceh.

Mbak Uni (begitu panggilan akrab kami untuk Uni Z. Lubis),   menuangkan kisah  tsunami Aceh dan bertemu perempuan hebat Indonesia yang kini telah menjadi  Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti kepada AcehNews.net, kedekatan Menteri Susi dengan Aceh terburai dalam kisah kenangan tsunami Aceh.

Tsunami Aceh Membawa Kenangan

Lama saya tak kontak Mbak Susi. Kami pertama kali bertemu di Medan, tiga hari sesudah bencana tsunami di Aceh, 26 Desember 2004. Sehari sesudah tsunami, saya ikut pesawat pribadi Wakil Presiden Jusuf Kalla, terbang ke Banda Aceh. Sampai di sana, rombongan kaget melihat pemandangan mengerikan dan menyedihkan.

Dalam perjalanan dari Bandara ke kantor gubernur Aceh, kami berhenti di Lambaro. Ribuan mayat bergelimpangan. Jumlah yang lebih banyak lagi kami temui di Lapangan Blang Padang, tengah kota Banda Aceh. Seharian saya menyaksikan dan meliput bencana dengan jumlah korban terbesar dalam lima puluh tahun terakhir.

Malam hari, Senin (27/12/2004) itu, rombongan Pak JK mampir di Bandara Polonia, Medan untuk melakukan rapat koordinasi pertama. Sambil menyaksikan rapat itu, saya mengirimkan pesan pendek ke sejumlah teman dan narasumber.

Saya menceritakan suasana mencekam dan menyedihkan di Banda Aceh. Tak banyak yang tahu situasi di sana, karena sejak tsunami praktis jaringan listrik dan komunikasi rusak. Ibarat berada dalam ‘bunker’ komunikasi.

Begitu mendarat kembali di Medan, saya menelpon menigirim pesan pendek ke sejumlah kawan. Salah satunya pengusaha Arifin Panigoro, bos Medco. Mungkin Arifin yang meneruskan informasi ke Teten Masduki, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW).  Teten mengirimkan pesan itu ke Mbak Susi, yang rupanya banyak berkerjasama mendukung kegiatan ICW.

“Kalau kamu nggak kirim sms ke Teten, aku nggak tahu kondisi di Aceh saat itu seperti killing field,” kata Susi tadi pagi. Spontan dia memeluk saya saat kami berfoto bersama.

Dalam percakapan ringan sambil menemaninya dirias, tadi pagi, pengalaman tsunami menjadi salah satu bahan nostalgia. Saat mengirim informasi ke sejumlah orang saat itu saya menceritakan betapa transportasi udara terputus. Bandara Sultan rusak karena gempa. Pesawat komersil tidak berani mendarat.

Pesawat Pak JK mendarat tentu saja karena sadar risikonya. Untung punya sendiri. Saya cerita ribuan mayat. Puluhan ribu korban selamat kehilangan rumah dan harta benda. Mereka butuh makan dan minuman segera.

Daerah seperti Meulaboh di Aceh Barat belum bisa diakses pada dua hari pertama. Mungkin informasi itu yang membuat Teten mengirimkan informasi ke Mbak Susi yang mengoperasikan penerbangan carter di bawah bendera Susi Air.

Segera setelah menerima pesan dari Teten, Susi mencoba kontak saya. Dia mendapatkan nomor saya dari suami saya, Iwan Qodar Himawan, saat itu pemimpin redaksi Majalah Mingguan Gatra. Mbak Susi dan Mas Iwan teman sekelas saat di SMA Negeri I di Yogyakarta.

Saya pernah mewawancarai Mbak Susi di rumahnya yang luas di Pangandaran. “Mbak Uni, saya ingin menerbangkan pesawat saya ke Banda Aceh dan Meulaboh. Tapi, pesawat saya masih menyicil ke bank. Perusahaan asuransi di London tidak mau menanggung kalau terjadi apa-apa dengan pesawat ini. Saya perlu semacam dukungan surat dari pemerintah. Ijin menerbangkan pesawat ke daerah yang tengah dalam bahaya,” kata Mbak Susi.

Menteri Perhubungan saat itu dijabat Pak Hatta Rajasa. Jadi, saya menelpon Pak Hatta menceritakan problem Mbak Susi, dan keinginan kuatnya untuk membantu korban. “Jalan saja, sampaikan salam dan terima kasih saya ke Bu Susi. Saya akan support jika asuransi memerlukan surat itu,” begitu kira-kira jawaban Menhub Hatta Rajasa.

Situasi memang darurat. Seringat saya ada komunikasi antara Mbak Susi dan Pak Hatta menindaklanjuti jaminan itu. Singkat cerita, pada hari Rabu, hari keempat setelah tsunami, pesawat Cessna Grand Caravans milik Susi Air mendarat di Banda Aceh.

Selain membawa beberapa wartawan termasuk tim jaringan televisi CNN, Susi juga memenuhi pesawatnya dengan bantuan logistik bagi korban. The rest, is history. Ketika CNN pertama kali mendarat di bumi Serambi Mekkah, saat itu kondisi di Aceh tersebar ke seluruh dunia. Simpati dan bantuan mengalir.

Sepanjang 2005 Susi mengoperasikan dua pesawat Cessna yang baru dibelinya tahun 2004 itu untuk melayani kebutuhan pasca tsunami di Aceh. Dua pekan pertama semuanya gratis. Bahkan setelah masa bayar sewa yang dilakukan banyak lembaga publik, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat asing yang terlibat masa tanggap darurat (emergency relief), Susi meminta agar selalu ada 2 kursi untuk wartawan yang ingin menjangkau daerah terpencil di kawasan terdampak bencana saat itu.

“Saya tahu Bapak mencarter pesawat ini, tapi boleh ya ada kursi untuk wartawan? Makin banyak wartawan bisa mengakses lokasi bencana, makin banyak informasi yang kita dapatkan tentang di mana saja korban perlu bantuan,” kata Susi kepada penyewa.

Saya mendengar ini saat tim Bank Indonesia menyewa pesawat untuk membawa bantuan ke Meulaboh. Banyak juga media yang mengirimkan tim peliputan melalui jalan darat dari Medan. Kalau membawa wartawan, Susi akan meminta pilot terbang lebih rendah agar kami bisa mengambil gambar lebih jelas. Dia meladeni sendiri para penumpang, termasuk membagikan snack dan minuman. Seperti pramugari.

Saat itu saya bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi di TV7, televisi yang bernaung di bawah grup media Kompas. Masa tanggap darurat minggu pertama, saya ditugasi mengkoordinasikan pengumpulan informasi untuk persiapan kegiatan dana kemanusiaan Kompas-TV7.

Praktis, dalam tiga bulan pertama saya bolak-balik ke Banda Aceh dan Meulaboh. Kami menyewa rumah di Banda Aceh, mendirikan sekolah darurat bekerjasama dengan tim Butet Manurung, menyalurkan bantuan dari pemirsa dan pembaca.

Setiap kali transit di Medan menunggu penerbangan pulang ke Jakarta atau menuju Banda Aceh, saya membuat janji dengan Mbak Susi. Dia menyewa sebuah rumah di Medan, sebagai base camp. Orangnya sangat praktis dan cepat bertindak.

“Mbak Uni, yuk kita belanja makanan untuk dropping bantuan,” kata dia suatu hari, pekan kedua pasca tsunami. Kami pergi ke grosir Carrefour di Kota Medan. Ada titipan uang bantuan untuk korban Aceh dari teman-temannya, juga dari orang yang membaca kiprah Susi dan Susi Air di media massa.

Ditemani staf Susi Air, Mbak Susi memborong bahan makanan, minuman, mainan untuk anak, perlengkapan untuk perempuan sampai ember. Pegawai grosir membantu kami membawa barang-barang itu ke dua mobil yang sudah disiapkan Langsung ditata di pesawat. Kami terbang menuju Banda Aceh. Kali lain ke Meulaboh.

Biasanya, sesampainya di lokasi dia akan turun langsung ke posko pengungsian. Mbak Susi akan masuk ke tenda-tenda membagikan makanan. Anak-anak pengungsi mendapat bonus mainan. Berminggu-minggu Mbak Susi melakukan itu. Kalau lelah, dia akan terbang ke Singapura menggunakan pesawatnya.

Paling semalam. Lebih dekat jarak terbangnya ketimbang ke Jakarta. Minggu-minggu pasca tsunami Mbak Susi konsentrasi penuh mengoperasikan dua pesawatnya. Bisnis ekspor lobster di Pangandaran sementara dipercayakan kepada staf.

Dua pesawat pertama itu sebelumnya digunakan untuk mengangkut lobster dan produk laut lain dari Pangandaran ke daerah tujuan pemasaran. Setelah terlibat dalam tanggap darurat tsunami di Aceh dan Nias, Susi Air mulai melayani rute perintis ke Pulau Simeuleu, salah satu tempat terdekat ke episentrum gempa. Di sana dia melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan di Pangandaran. Membeli ikan tangkapan nelayan, sekaligus melayani transportasi rute perintis.

“Sesudah tsunami itu, saya agak lama tinggal di Medan. Pesawat fully booked untuk jalur ke Aceh. Akhir pekan saya dan anak-anak menikmati Pantai Simeuleu yang indah. Bakar ikan. Dirikan tenda. Nelayan di sana belum berani kembali melaut karena trauma. Saya datangkan 20 kapal penangkap ikan. Akhirnya bergabung 40-an nelayan, mereka kembali melaut. Hasil tangkapan saya beli. Mei 2005, secara resmi kami mulai melayani rute ke Pulau Simeuleu,” cerita Mbak Susi.

Pulau Simeuleu menjadi kisah menarik. Kendati berada di lokasi terdekat dengan pusat gempa berkekuatan 9,1 SR itu, korban jiwa relatif sedikit. Penduduk memiliki kearifan lokal, segera lari ke lokasi lebih tinggi saat terjadi gempa, untuk menghindari terjangan tsunami.

Setelah Pangandaran, Pulau Simeuleu, bisnis perikanan Susi Pudjiastusi ASI berkembang pesat ke. Susi Air kini meladeni penerbangan ke dan dari 23 base,   setiap hari ada 200-250 penerbangan yang dilakoni pesawat-pesawat Susi Air yang mayoritas dikemudikan pilot asing. Susi Air selalu hadir dalam setiap upaya tanggap darurat bencana tsunami. (saniah ls/unilubis.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *