Soal Pembagian Pengelola Pesisir di Aceh Belum Jelas

AcehNews.net|BANDA ACEH – Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) Pada hari Sabtu kemarin (13/02/2016)  mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) mengenai Status Hukum Kewenangan Pengelolaan Pesisir dan Laut Aceh di Lantai II 3in1 Coffee Shop Lambhuk, Banda Aceh.Hasil dari diskusi ini mendesak Gubernur Aceh agar segera berkoordinasi dengan bupati dan walikota mengenai pembagian kewenangan pengelolaan pesisir antara provinsi dengan kabupaten/kota di Aceh.

Menurut penyelenggara, FGD ini dilaksanakan karena kesimpangsiuran atau ketidakjelasan kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota di Aceh, hal ini timbul setelah ditetapkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, padahal Aceh mempunyai UUPA, Qanun No.7 tahun 2010 tentang Perikanan dan juga  PP 3/2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh.

Diskusi publik ini dihadiri oleh unsure Pemerintah Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kota Sabang,  dan Aceh Jaya. Selain itu juga dihadiri dari unsur LSM/NGO lokal di Aceh, akademisi, dan juga dari Lembaga Penelitian di Universitas di Aceh.

Muhammad Junaidi, SH. M. Hum selaku Kasubbag Peraturan Perundang-Undangan Biro Hukum dan Humas Setda Aceh dalam presentasinya menjelaskan, bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 156 mengatakan, bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berhak mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya, salah satunya adalah bidang kelautan dan perikanan.

Selain itu, pembagian kewenangan pengelolaan wilayah pesisir antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga dikuatkan dengan Qanun nomor 7 tahun 2010 tentang perikanan pada pasal 6, dimana garis pangkal 0 sampai 4 mil menjadi wewenang Kabupaten/Kota dan di atas 4 mil sampai laut lepas menjadi wewenang provinsi.

“Sedangkan UU Nomor 23 tahun 2014 mengamanatkan hak pengelolaan ini hanya kepada provinsi dari 0 sampai 12 mil laut. Hal ini menyebabkan kegamangan bagi Pemerintah Aceh khususnya pemerintah tingkat II di kabupaten dalam menjalankan fungsi kepemerintahan,”sebut Junaidi.

Sementara itu, Mawardi Ismail, SH. M. Hum mengatakan, bahwa keberadaan UU No.23 Tahun 2014, tidak serta merta menghilangkan kewenangan kab/k, karena telah ada pengaturan dalam UU No.11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh No.7 tahun 2010. Selain itu perlu kajian menyeluruh apakah Aceh akan ikut ketentuan UU No.23 tahun 2015 ( secara substantif, bukan formal ), dan dengan merubah Qanun Aceh No.7 tahun 2010.

Jelas Mawardi, pengalaman selama ini, sepanjang tidak menyangkut hubungan kewenangan Aceh dan Pusat, tapi hanya hubungan Provinsi dengan Kab/Kota, Aceh ikut ketentuan yang berlaku nasional (untuk efektifitas pemerintahan).

Sekjen KuALA, Marzuki kepada AcehNews.net mengatakan,  bahwa petemuan ini dilakukan setengah hari yang bertujuan untuk memastikan secara hukum kewenangan pengelolaan pesisir dan laut Aceh.

“Hasil dari FGD ini adalah mendesak Gubernur  Aceh  segera berkoordinasi dengan bupati dan walikota mengenai pembagian kewenangan pengelolaan pesisir antara provinsi dengan kabupaten/kota di Aceh,”ujar Marzuki.

Lanjutnya, sebelum ada peraturan yang baru, maka sementara pemerintah daerah mengikuti kepada Qanun Perikanan No.7 Tahun 2010 tentang Perikanan.

Forum diskusi ini menghasilkan rekomendasi untuk menyusun Rancangan Qanun Pembagian kewenangan antara provinsi dan kab/kota, merevisi Qanun No.7 tahun 2010 tentang perikanan, menyusun Rancangan Qanun Aceh Tentang Kelautan/Perikanan serta mendesak DKP Aceh untuk segera membuat telaah staf membuat Pergub tentang konservasi di pesisir Aceh. (saniah ls/ril)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *