Raihan Tidak Jadi Dokter  

Anak muda ini tidak jadi dokter, cita-citanya sejak kecil harus kandas ditengah jalan karena ketidakmampuan orangtuanya membiayainya sekolah. Kini remaja tamatan SMP itu jadi penjual es dawet di Kota Lhokseumawe.

Sengatan matahari di siang bolong tidak bisa dianggap remeh, cukup untuk membuat kulit serasa terbakar. Sebuah gerobak hijau dengan sebatang payung kembang bermotif pelangi pas di bawah pohon rindang pinggiran jalan, bertuliskan Es Dawet dikerumunin pembeli yang kehausan.

Seorang remaja putus sekolah bernama Raihan asal Kebumen, Jawa Tengah terlihat sibuk melayani pembeli, Kamis (11/9) di Simpang Kutablang, Lhokseumawe. Lelaki berusia 19 tahun yang hanya mengecap pendidikan tingkat SMP itu memberanikan diri merantau ke Kota Lhokseumawe,  menjadi penjual es dawet. Dulu dia juga pernah berjualan kue pancung di Nusa Tenggara Barat (NTB). Semua yang dia lakukan untuk membantu orangtuanya yang hanya buruh tani di Jawa.

Gerobak hijau itu terlihat sederhana, ada dua lembar kain putih bergambar Petruk dan Gareng (tokoh dalam pewayangan Jawa) di kiri kanannya bertuliskan “es dawet ayu asli Banjarnegara”, ada pula tertera nomor handphone dibagian paling bawahnya. Terlihat begitu unik karena begitu identik dengan budaya Jawa. Orang Jawa yang mengadu nasib di Aceh dengan berjualan es dawet.

Sekilas memang tak ada yang istimewa pada diri penjual es dawet ini. Tubuhnya tak kurus, pakaiannya tak dekil, malah dia ber-fashion ala ABG (anak baru gede) gaul dengan kalung di leher dan gelang di tangan. Namun ketika saya mengajaknya bicara, ternyata penjual es dawet ini remaja yang putus sekolah dan harus ikhlas cita-citanya menjadi dokter tak kesampaian.

Adalah Raihan. Lelaki muda ini, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Hamiono dan Kasini. Lahir di Kebumen, 10 September pada 1996. Raihan baru saja berulang tahun ke-19. Di usianya yang harusnya sudah tamat SLTA dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi untuk mengejar cita-citanya menjadi dokter, kini dia hanya menjadi penjual es dawet.

“Lulus SMP, saya ke NTB bersama seorang pengusaha kue pancung yang membuka usahanya di pasar Mataram. Saya waktu itu baru lulus SMP. Nggak ada duit untuk lanjutin sekolah,”  cerita Raihan singkat, memberi penjelasan penyebab mengapa ia putus sekolah.

Remaja bertubuh gempal ini menjual kue pancung dengan harga Rp500/buah. Dalam sehari dia menghabiskan 3 kilogram kue pancung dengan omset 200 ribu/hari. Namun uang itu harus disetorkan ke pemilik usaha sebesar Rp170 ribu, sisanya Rp30 ribu baru untuknya. Raihan menabung sedikit demi sedikit karena setiap bulan dia harus mengirim uang sebesar Rp1 juta kepada orangtuanya di kampung halamannya, Kebumen.

Setelah dua tahun berjualan kue pancung awal Agustus 2014, Raihan baru hijrah ke Aceh. Awal Agustus tepatnya beberapa hari setelah lebaran Idul Fitri. “Mas Min yang mengajak saya untuk jualan es dawet keliling di Kota Lhokseumawe,” kata Raihan. Mas Min pengusaha usaha es dawet.

Jauh dari kedua orangtua dan keluarga, kadang membuat Raihan harus ikhlas dan sabar. Apalagi ibu dan ayahnya yang hanya buruh tani itu kini tinggal berdua di rumah. Karena adiknya yang paling kecil, Santun melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Santun bersekolah di salah satu SMAN di Yogyakarta. Ia (Santun) juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan biaya untuk sekolah.

“Kakak pertama saya, Widi ikut suaminya ke Jakarta,  abang kedua saya bernama Chandra di Bandung kerjanya tak tetap. Santun sekolah di Yogyakarta sambil kerja. Orangtua saya tinggal berdua di rumah,” ceritanya selesai melayani pembeli.

Sehari dari pengakuan Raihan bisa laku Rp300 ribu hingga Rp500 ribu dan ia mengantongi penghasilan kotor dari berjualan es dawet sebesar Rp40 ribu/hari. Raihan bersama pedagang es dawet lainnya  mulai berjualan dari pukul 11.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Raihan sendiri sering mangkal di Simpang Kutablang, Lhoksemawe.

“Ada rencana untuk cari kerja lain?” tanya saya kepada Raihan yang sedang menuangkan es dawet ke dalam gelas untuk saya.

“Nggak bang. Kerja kek gini saja sudah syukur bang,” kata Raihan.

“Nggak pengen sekolah lagi?” tanya saya.

Raihan terdiam sebentar, kemudian dia baru menjawab pertanyaan saya itu, “Belum tau bang,” ucapnya singkat mengakhiri perbincangan siang kami.

Raihan mengakui meski ia hanya mengecap sekolah hanya tingkat SMP, tapi dia merasa bersyukur karena adiknya, Santun masih bisa bersekolah hingga tingkat SMA, meski harus juga ikut bekerja. (Irhamuddin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *