Raihal Fajri, Pemerhati Keterbukaan Informasi Publik Aceh
Pro dan Kontra Garam Najis Serta Pelanggaran UU Keterbukaan Informasi Publik

AcehNews.net – Pernyataan Kepala Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Permusyawaratan Ulama (LPPOM MPU) Aceh, drh Fakhrurrazi MP dalam Talkshow Cakrawala Radio Serambi FM, Senin (3/7) pagi dan dimuat diberita siber aceh.tribunnews.com pada 04 Juli 2017 yang mengatakan, garam yang di olah secara tradisional terindikasi najis ini menuai pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat.

Usaha produksi garam secara tradisional yang diolah di Lancang Sira tersebut, tersebar di sebagian besar wilayah pesisir Aceh seperti Kabupaten Aceh Utara, Pidie, Aceh Besar, dan Kota Lhokseumawe.

Pernyataan dari LPPOM MPU Aceh yang menyebutkan bahwa proses pengolahan garam secara tradisional ini terindikasi najis, karena pada malam hari diduga dikunjungi hewan-hewan seperti anjing, sapi, dan kambing karena tidak adanya pagar di lingkungan lancang, melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Hasil survei menyebutkan bahwa hewan-hewan tersebut membuang kotoran di lahan tersebut. Pernyataan ini membuat usaha garam tradisional tersebut terancam gulung tikar dan menjadi jalan mulus bagi masuknya garam impor yang juga belum tentu terbebas dari najis.

Secara tegas pada pasal 17 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terkait informasi yang dikecualikan menyebutkan, bahwa informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Kategori informasi yang dikecualikan di atas khususnya pada poin b tersebut , seharusnya menjadi acuan kepada Kepala LPPOM MPU Aceh untuk tidak secara langsung memberikan atau membuka hasil risetnya kepada publik, karena akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang saat ini terjadi kepada para petani garam tradisional di Aceh.

Bagaimana tidak, setelah munculnya isu najis tersebut, dari hasil kunjungan yang pihaknya lakukan ke Kabupaten Pidie bahwa saat ini petani garam Aceh menjual garam yang diklaim najis tersebut ke “Toke Medan”. Dan oleh toke tersebut garam tersebut di “samak” dengan yodium dan dijual kembali ke Aceh.

Jadi pertanyaanya kemudian, yakinkah Kepala LPPOM MPU Aceh bahwa garam di atas meja makannya yang dikonsumsi sekarang ini bebas dari najis?

Bukan hanya soal keraguan terkait najis atau tidaknya saja, namun kepala LPPOM MPU Aceh telah membuka jalan kepada persaingan usaha tidak sehat bagi garam impor, yang sebagian sumber garamnya juga berasal dari Aceh namun tidak lagi berlabel Aceh, karena sudah melalui proses “samak” di Medan.

Ini lah yang amat disayangkan soal pernyataan Kepala LPPOM MPU Aceh yang tidak memahami langsung dampak dari pernyataannya itu bagi petani garam tradisional di Aceh. Sudah jelas dan sangat jelas, perintah tegas UU Keterbukaan Informasi Publik yang seharusnya menjadi instrumen gerak penyelenggara negara telah dengan sewenang-wenang dilanggar. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *