Presentasi Perempuan Menikah di Usia 16 Tahun Cukup Tinggi di Abdya

BANDA ACEH | AcehNews.net – Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) masih menjadi permasalahan di berbagai provinsi di Indonesia dan Provinsi Aceh salah satunya. Berdasarkan perkembangan tingkat perceraian di kalangan masyarakat yang semakin meningkat 2 tahun terakhir ini, menurut para peneliti, ternyata perkawinan dibawah umur memberikan andil yang cukup besar dari kasus tersebut dan tercatat Aceh Barat Daya merupakan kabupaten di Aceh yang presentasi perempuan menikah diusia 16 tahun tertinggi presentasinya.

Data statisktik yang dikeluargkan Badan Pusat Statistik Aceh pada 2016, presentase perempuan yang pernah menikah di usia 16 tahun cukup tinggi di Abdya yaitu sebesar 19,06%. Hal ini dipaparkan Ketua Tim Peneliti Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S pada pemaparan hasil seminar penelitian yang digelar Rabu (29/11/2017) di Ruang Rapat LP2M UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Turut hadir anggota peneliti lainnya yaitu, anggota Eddi Munawar, ST.M.Si (BkkbN Aceh), Mumtazul Fikri, MA (LP2M UIN Ar-Raniry), dan Marzuki Abubakar, M.Si (LP2M UIN Ar-Raniry). Selain itu dari Perwakilan BkkbN Aceh, diwakili Kabid Latbang, Drs. Saflawi TR, MM dan Kasubbid Tata Operasional Latbang, Ir. M. Hasanji.

Sebut Dr. Anton, selain Abdya, Aceh Barat presentasinya sebesar 15,57%, Aceh Selatan 14,30%, dan Aceh Utara 14,06%. Sedangkan untuk perkawinan usia 17 hingga 18 tahun, sebutnya lagi, Abdya juga mengalami presentasi tertinggi sebesar 20,33%. Disusul Aceh Barat sebanyak 21,53%, Aceh Selatan 18,24%, dan Aceh Utara 21,10%.
“Data tersebut jika dibandingkan yang dikeluarkan BPS Aceh pada 2014 dan 2015, tergolong mengalami peningkatan,” kata Dr Anton di Banda Aceh.

Selain itu, dosen UIN Ar-Raniry ini juga memaparkan hasil penelitian yang dilakukan timnya di Abdya mengatakan, kasus pernikahan dibawah umur di Abdya ada beberapa faktor penyebab utamanya yaitu, pendidikan, ekonomi, hamil di luar nikah, budaya, dan ketidakpahaman masyarakat tentang risiko perkawinan di bawah umur.

Menurut Dr. Anton, terkait dengan hal ini, keberadaan keuchik dan tuha peut sebagai unsur penting lembaga adat yang berhadapan langsung keseharian dengan masyarakat masih belum diberdayakan dengan baik. Juga masih belum disentuh oleh program sosialisansi atau pelatihan yang dilaksanakan oleh BkkbN maupun instansi-instansi terkait lainnya.

“Para keuchik dan tuha peut di Abdya masih jarang diikutsertakan dalan kegiatan-kegiatan pelatihan khususnya terkait dengan regulasi perkawinan dan perlindungan anak. Sebagai garda terdepan pimpinan di tingkat gampong/desa yang langsung berhadapan dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seharusnya peran mereka (keuchik dan tuha peut) lebih banyak dilibatkan dan diperkuat,” kata Dr. Anton.

Jelas Dr. Anton, lemahnya jalinan koordinasi dan kerjasama antar institusi terkait dalam hal ini BkkbN, Kemenag/KUA, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, Majelis Adat Aceh, dan Majelis Permusyawaratan Ulama di Abdya menjadi salah satu kendala. Untuk itu menurutnya, koordanasi dan kerjasama sangat perlu diperkuat.

Selain itu hasil penelitian lainnya, kata Dr. Anton, perlu melakukan sosialisasi kepada para siswa tingkat menengah dan atas (SLTP/SLTA) mengenai resiko perkawinan di bawah umur maupun regulasi-regulasi terkait Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Qanun Jinayat adalah sangat minim, sehingga perlu lebih digalakkan.

Sementara itu, Kepala Latbang Perwakilan BkkbN Aceh, Drs. Saflawi TR, MM secara terpisah mengatakan, hasil penelitian ini akan ditindaklanjuti dan dicari langkah strategis untuk meminimalisir terjadinya kasus pernikahan dibawah umur di Aceh khususnya di Abdya.

Untuk meminimalisir terjadinya kasus-kasus perkawinan dibawah umur di Aceh (khususnya Aceh Barat Daya), kata Saflawi, maka diperlukan beberapa langkah strategis, yaitu perlu ketegasan dan singkronisasi antara batas usia menikah yang menjadi standar BkkbN dengan UU Perkawinan tahun 1974.

Diperlukan penguatan koordinasi dan sinkronisasi program antara BkkbN, Kemenag/KUA, MPU, dan MAA dalam mencegah perkawinan dibawah umur di Abdya. Lanjutnya, langkah strategis lain yaitu perlu penguatan pemahaman terkait Qanun Jinayat di Aceh (Qanun No.4 Tahun 2006) khususnya terkait ikhtilat, khalwat, dan zina di kalangan masyarakat Abdya.

“Langkah strategis lain yang dapat dilakukan yaitu penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat menengah kebawah khususnya daerah pesisir dan pinggiran Abdya dan perlunya sosialisasi kepada generasi muda Abdya tentang penggunaan internet secara positif dan aman,” pungkasnya. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *