Perempuan-Perempuan Pengumpul Pasir dari Pulau Bengkalak Simeulue

AcehNews.net – Hidup tidak hanya sekedar hidup. Hidup bagaimana memberikan yang terbaik dalam kehidupan untuk keberlasungan hidup dan masa depan generasi yang akan datang, sebagai penerus kehidupan.

Refnita merupakan potret seorang Ibu rumah tangga tangguh. Kesehariannya bekerja sebagai penambang pasir di salah satu sungai yang ada di Desa Pulau Bengkalak, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue.

Bersama putri semata wayangnya, disungai kecil ditengah hutan belantara ini lah ia menghabiskan waktu setiap harinya. Berangkat jam tujuh pagi, pulang hingga menjelang manggrib.

Sedikit demi sedikit pasir dari sungai itu ia kumpul di tepi sungai. Ketika pasir sudah cukup banyak, kemudian pasir itu diangkut pula ke pinggir jalan menggunakan kereta sorong, melewati jalan bebatuan, jembatan kayu darurat dan mendaki gunung yang cukup tinggi.

Tidak saja Refnita, kabarnya, sungai kecil ini juga menjadi sumber penghasilan bagi kaum ibu lainnya yang ada di Desa itu.

Refnita, terbilang masih berusia muda dibandingkan dengan ibu-ibu lainnya yang turut berusaha mencari nafkah di sungai dibawah kaki bukit Pulau Bengkalak ini.

Namun, karena himpitan ekonomi, Refnita terpaksa melakukan pekerjaan yang cukup menguras tenaga ini. Pekerjaan berat bagi kaum perempuan ini sudah ia lakoni selama tiga tahun bersama dengan sebagian besar ibu-ibu di desa kelahirannya, Pulau Bengkalak.

“Daripada di rumah saja. Mending kerja seadanya, walaupun berat yang penting halal,” demikian kata ibu muda, saat ditemui AcehNews.net baru-baru ini di lokasi.

Saat ditemui dilokasi, Refnita mengeluhkan sudah beberapa hari ini pembeli pasir sepi. Justru itu keadaan lokasi itu di hari ini sepi, tak ramai. Sebagian besar kaum ibu yang biasa mengeruk pasir di sungai ini memilih istrahat karena kurang pembeli.

Apa lagi saat ini musim kemarau, bila kemarau untuk mengambil pasir pun terpaksa harus jauh untuk mengambilnya. Tapi bila hujan, air sungai pun deras, pasirpun akan ikut mengalir ke hilir. Sehingga pasir yang menjadi pundi-pundi rupiah itu mudah dikumpulkan.

Tapi tidak bagi Refnita. Walau sendiri, ia tetap bekerja mengumpul pasir dari sungai itu sedikit demi sedikit, demi satu alasan “Membantu suami mencari nafkah dan mengepulkan asap dapur istana kecilnya”.

Tak ada kata istrahat baginya. Waktu itu adalah uang, biarlah sementara ini belum ada para pembeli pasir yang berminat membeli pasirnya. Tapi dia terus mengumpulkan pasir ditepian bibir sungai.

Ia berharap, sore atau esok hari, pasir yang selama ini dikumpulnya akan laku. Sehingga bisa segera membeli keperluan rumah tangga.

Pasir-pasir yang sudah ia kumpul dengan sang suami selama satu pekan ini belum ada yang laku. Tetapi ia masih tetap bekerja mengeruk pasir ditepian sungai ditengah hutan belantara itu.

Biasanya, satu tumpuk pasir atau ukuran satu kubik yang ia kumpul, ia bisa mendapat uang 120 ribu bahkan ada yang hanya membeli dengan harga yang tak sebanding dengan jeripayah mereka saat mengumpul.

Hal yang sama juga dirasakan Ermiati (40 tahun). Ermiati juga terpaksa melakoni pekejaan ini. Meskipun mengerus tenaga yang cukup besar, namum tak menyurutkan semangatnya melakoni pekerjaan ini semua. Semua itu dilakukan ikhlas demi membantu menafkahi keluarga.

Ironisnya, pasir-pasir yang sudah mereka kumpul belum tentu ludes terjual dengan cepat. Dari puluhan kubik yang sudah mereka kumpul, dalam satu minggu paling laku terjual sebanyak satu sampai dua kubik saja.

“Itu lah sudah dua hari ini nga ngumpul pasir. Pembeli sepi,” keluhya.

Hari ini ia datang ke lokasi, bukan untuk bekerja, ia ke lokasi untuk menjaga pasir yang telah ia kumpul. Berharap, pasir-pasir yang telah mereka kumpul itu akan ada pembeli yang memborongnya.

Rata-rata, para kaum hawa ini sudah menggeluti pekerjaan ini selama tiga tahun. Selain alasan membantu mencari nafkah, mereka terpaksa melakoni pekerjaan berat ini lantaran tak ada pilihan lain.

Tak perduli arus deras sungai bila musim penghujan, tak perduli sengatan panas matahari membakar tubuh mereka. Sungai dan hutan belantara itu seolah menjadi sahabat karib mereka ketika sedang mengumpul pasir ini.

Bahkan, sebagian dari mereka tak ada rasa takut, terkadang mereka bekerja hanya sendiri saja. Refnita lah salahsatu contohnya.(Jenedi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *