Raihal Fajri, Direktur Eksekutif Katahati Institute
Perempuan-Perempuan Penggugat Tambang di Bumi

AcehNews.net – Refleksi bersama dimulai dengan menceritakan bagaimana keseharian kehidupan masing-masing peserta berhadapan dengan perusahaan tambang di enam negara anggota ASEAN yang hadir di Manila dalam acara Resister Dialog Resister Dialogue on land, life and rigts di Quezon City, Filipina, dari 07 hingga 09 November 2017 lalu.

Dialog ini bersama perempuan dari enam negara, tentang demokrasi dan sumber daya alam. Enam negara yang merupakan negara-negara di ASEAN itu terdiri dari Indonesia, Burma, Thailand, Filipina, Kamboja, dan plus India.

Secara garis besar pertemuan lintas negara ini menghadirkan perempuan-perempuan yang berasal dari komunitas yang melakukan advokasi secara mandiri menolak upaya-upaya “perselingkuhan” perusahaan tambang dengan pemerintah.

Sejumlah peserta yang hadir memberikan jiwanya untuk gerakan perjuangan dari perampasan lahan dan ruang hidup dengan budaya patriarkhi yang erat mengikat. Ruang domestic tidak membatasi daya pikir untuk bergandengan tangan bersama mewujudkan ruang hidup yang layak bagi generasi penerus.

Seperti, Aung Ja. Dia adalah ibu muda yang memiliki seorang anak yang tinggal di Burma menceritakan dalam refleksinya bagaimana tantangan berat yang harus dihadapinya antara tugas domestik dan perjuangan melawan perusahaan yang menambang permata dan emas di negaranya.

Melakukan pengorganisiran bukan mudah bagi ibu muda yang hidup di lingkungan patriarkhi yang begitu kental.Banyak gunjingan yang diterimanya dengan lapang dada. Kata Aung Ja, keluarga adalah orang terdekat pertama yang harus diajak “berdamai” dengan perjuangannya itu.

Dia, ibu muda ini, meninggalkan anaknya yang masih kecil, berumur 6 tahun berhari-hari keliling desa untuk bertemu dan membangun kekuatan bersama di tanah para biksu ini yang terus dilakukannya.

Puncaknya, saat ratusan ibu-ibu, tua maupun muda, duduk bersama di jalan menuju lokasi tambang dengan melakukan aktivitas menenun dan menyulam. Aksi protes ini dilakukan para perempuan penggugat ini dengan membawa alat tenun dan rajut tradisional serta bahan-bahan yang diperlukan.

Mereka, para ibu muda dan tua ini, cerita Aung Ja, duduk seharian di jalan tersebut dengan maksud protes terhadap lahan dan ruang hidup mereka yang dirampas perusahaan penghasil permata tersebut.

Indahnya permata yang berkilau ketika dipakai sebagai perhiasan kalunng, anting, maupun cinci, tidaklah sebanding dengan penderitaan rakyat Burma yang harus kehilangan tanah dan ruang hidup yang nyaman. Intimidasi aparat keamanan juga kerap mereka terima atas nama stabilitas keamanan.

Cerita lain tentang perempuan penggugat dari persada bumi pertiwi, Indonesia, Patmi. Patmi adalah perempuan penggugat yang berasal dari bumi Kendeng, tanah air, yang harus kehilangan nyawanya pada saat aksi pasung kaki dengan semen digelar di seberang Istana Negara di Jakarta Indonesia.

Bukan hanya Patmi yang ada di Bumi Kendeng, ada Gunarti yang menggorganisir petani Kendeng khususnya perempuan untuk menolak hadirnya perusahaan semen yang akan menggerogoti pegunungan Kendeng yang selama ini menyediakan air untuk mengaliri persawahan sebagai sumber kehidupan mereka.

Santunnya gugatan petani Kendeng dalam mengawal tetap adanya ratusan sumber mata air yang mereka simbolkan melalui kendi-kendi bernama di Omah Kendeng dibalut dengan kebaya dan sarung yang mereka kenakan sebagai simbol kearifan lokal Samin telah menggugah dunia. Berbagai dukungan kemudian hadir bersama mereka saat aksi di depan Istana Negara beberapa waktu lalu itu.

Kondisi tersebut juga terjadi di Aceh, ada sejumlah perempuan penggugat yang mengorganisir dirinya untuk membela ruang hidup yang nyaman, bukan hanya untuknya yang hidup kini tapi untuk generasi yang akan lahir kemudian dari rahimnya.

Saya, Raihal Fajri, menjadi salah satu perempuan yang mengorganisir lima ribu orang untuk turun ke jalan bersama rekan-rekannya untuk menggugat kerusakan akibat perampasan ruang hidup hijau di Lhoknga dengan hadirnya operasi PT. Lafarge Holcim yang telah 30 tahun lebih mengeruk hasil alam setempat untuk diolah menjadi semen tersebut. Saya menggugat perusahaan yang menggeruk keuntungan juga pemerintah daerah setempat, agar lebih peduli dengan keberlangsungan hidup generasi akan datang.

Perempuan-perempuan penggugat tambang di bumi, merupakan refleksi dari pertemuan Resister Dialog Resister Dialogue on land, life and rigts di Quezon City, Filipina beberapa waktu lalu. Dialog yagn membicarakan bagaimana strategi bersama kelanjutan advokasi menjaga ibu bumi. Rumusan pertemuan ini kemudian diberikan kepada perwakilan negara masing-masing yang hadir di pertemuan negara-negara ASEAN pada saat itu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *