Perempuan Aceh dalam Sepotong Cerita Raihal Fajri di New York

MENJEJAKI New York pertama kali bagi saya adalah hal baru, meskipun sudah malang melintang di dunia LSM lebih kurang 10 tahun dan mengunjungi beberapa negara di Asia seperti India dan Thailand.

Berbekal surat undangan sebagai narasumber satu-satunya dari Aceh yang mendapatkan kesempatan bercerita tentang perempuan dan perdamaian ditambah suhu 2 derajad celcius membuat saya sedikit menyimpan rasa berdebar. Bagaimana tidak, saya adalah perempuan biasa yang berasal dari sebuah Gampong Lamlhom, Kabupaten Aceh Besar yang bahkan tidak terdeteksi di Google Map akan berdiri di depan ribuan mata peserta dari berbagai penjuru dunia.

Saya salah satu perempuan di Aceh yang diundang Mediator Beyond Border International (MBBI) yang berkantor di New York, Amerika Serikat. Sebuah lembaga yang bekerja fokus pada mediasi dan skill di bidang perdamaian di komunitas-komunitas di seluruh dunia pada akhir Maret 2017 lalu.

Di sana saya bersama perempuan lain dari berbagai negara dunia di depan podium PBB bercerita kisah-kisah heroic perempuan dibelahan dunia. Saya sendiri bercerita tentang pengalaman saya bersama teman-teman lain di Aceh dalam membangun perdamaian Aceh yang telah banyak memakan korban jiwa termasuk perempuan di dalamnya. Bahkan ribuan korban masih hidup dengan berbagai pengalaman langsung yang mereka alami selama konflik berlangsung di Aceh lebih kurang 30 tahun lamanya.

Topik presentasi saya yaitu “Women’s roles in peace building, best practice from Aceh, Indonesia”. Saya berharap best practice Aceh dalam membangun perdamaian menjadi model dunia. Dunia bisa mengambil pengalaman baiknya dan tidak mengulang pengalaman buruk Aceh.

Memang, tidak mudah menyiapkan presentasi yang hanya berlangsung selama 15 menit dengan memasukkan setidaknya tiga fase; Dinamika Aceh, Peran Perempuan dalam Perdamaian dan Model Perdamaian Aceh. Berbagai referensi pengalaman masyarakat sipil Aceh terutama perempuan dan pengalaman saya pribadi menjadi ramuan yang saya sajikan pada hari ke empat forum perempuan dunia ini.

Salah satu slide saya menampilkan bahwa sebagai perempuan Aceh, saya bisa berkontribusi dalam membangun perdamaian di Aceh. Titik tekan saya pada waktu itu di point syariat Islam di Aceh. Saya ingin mempertegas dalam pemaparan saya itu, bahwa syariat Islam di Aceh tidak mengungkung perempuan Aceh untuk berbuat di dalam pembangunan.

Presentasi yang saya sajikan menarik perhatian dengan munculnya berbagai pertanyaan terutama salah satu slide presentasi saya tentang “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana”. Di sini saya menggambarkan keterlibatan perempuan dalam perdamaian di Aceh bukan hal baru, hal tersebut sudah dirumuskan dalam kebijakan ratusan tahun lalu saat Aceh masih berstatus kerajaan. Model Aceh inilah yang kemudian di adopsi dunia sebagai regulasinya masing-masing sesuai konteks negara tersebut.

Salah seorang peserta dari Toronto menanyakan apakah kiprah perempuan Aceh dalam membangun perdamaian bisa berlangsung seperti yang saya ceritakan jika dibatasi oleh penerapan Syariat Islam sebagai kebijakan yang menurut referensi berita yang dia baca sangat membantasi ruang gerak perempuan?

Jawaban saya tegas tentang hal ini, saya tidak akan menceritakan detil tentang proses penerapan Syariat Islam di sisi ini karena kurang tepat, namun secara garis besar saya menjelaskan bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh sama hal nya dengan penerapan hukum di negera anda ataupun di negara lainnya di dunia, seperti hukuman penjara hingga hukuman mati hanya saja metode hukuman yang berbeda yaitu cambuk.

Kemudian tanggapan peserta mengalir dengan beragam pertanyaan, Alhamdulillah respon peserta yang hadir sangat positif tentang presentasi saya dan kemudian kami saling bertukar informasi setelah sesi saya berakhir. (*)
(**Raihal Fajri. Lahir di Aceh Besar pada 20 Februari 1981. Memulai karir di Katahati Institute pada 2007 sebagai Project Officer untuk Program Clearing House Advokasi Kebijakan dan kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Katahati Institute).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *