Pegiat Lingkungan Pertanyakan RTRW Aceh

AcehNews.Net|BANDA ACEH – Pemerintah Aceh diminta untuk membuka ruang peninjauan kembali atau revisi Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 tantang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033.

Hal itu diutarakan pegiat lingkungan, Teuku Muhammad Zulfikar, di Banda Aceh, Kamis (8/10/2015), sehubungan dengan rencana sejumlah warga Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) hendak menggugat Menteri Dalam Negeri RI, Gubernur Aceh, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait  RTRWA.

Menurut Zulfikar,  Qanun RTRW Aceh terdapat sejumlah persoalan yang perlu segera dikaji ulang. Beber dia,  RTRW Aceh yang ditetapkan melalui Paripurna DPRA pada tanggal 31 Desember 2013, dan telah diundangkan pada tanggal 3 Maret 2014 lalu, tanpa terlebih dahulu menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri RI melalui Keputusan No. 650-441 Tahun 2014, tanggal 14 Pebruari 2014.

“Saya melihat sepertinya ada ketakutan-ketakutan tidak mendasar dari Eksekutif dan Legislatif di Aceh, untuk segera merevisi Qanun RTRWA, meski terus didesak oleh sejumlah kalangan,” kata Zurfikar.

Padahal, kata Zulfikar, dari hasil kajian para pihak menunjukkan masih banyak kejanggalan di dalam Qanun tersebut. Salah satunya adalah, tidak mencantumkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) KEL secara jelas tercantum.

“Sudah jelas-jelas pada pasal 150  ayat (1) UUPA dengan jelas disebutkan, Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari,”tuturnya.

Lanjutnya, Ayat (2) disebutkan, Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.

Kata Zulfikar, jika ingin KEL dihapus dalam Qanun RTRW Aceh, seharusnya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, juga harus diamandemen. Sehingga Qanun Aceh tidak bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Republik Indonesia yang lebih tinggi.

Sementara menyangkut pengelolaan hutan oleh masyarakat adat atau lokal. Hal ini juga belum secara jelas tercantum atau diatrur dalam Qanun RTRW Aceh.  Padahal menurut dia, masyarakat Aceh memiliki hak untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Zulfikar meminta, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota di Aceh berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mematuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup. (saniah ls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *