10 Tahun Tsunami Aceh,
Pemerintah Masih Warisi Pengelolaan Linkungan yang Buruk  

BANDA ACEH – Sudah satu dekade tsunami Aceh berlalu, Wahana Lingkungan (Walhi) Aceh menilai, pemerintah Aceh masih mewarisi pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang buruk.

“Dari aspek pengelolaan lingkungan hidup kami menilai pemerintah Aceh belum melahirkan kebijakan daerah mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil hingga akhir 2014, artinya pemerintah Aceh sendiri masih mengabaikan bagaimana membangun sektor pesisir dari hal yang dapat menimbulkan negatif maupun positif atas mengoptimalkan pemanfaatan ruang sumberdaya alam pesisir,” demikian pendapat Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, Kamis (25/12) di Banda Aceh.

Padahal menurut M. Nur, sudah jelas semua itu atas perintah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Padahal penting bagi Aceh untuk menyediakan instrumen pengendalian dan pengawasan pemanfaatan wilayah pesisir dari pelindungan dari kejadian tsunami.

“Lemahnya kebijakan daerah soal tata ruang yang dituangkan melalui Qanun No. 19 Tahun 2013 memberikan perlindungan sektor sumberdaya alam yang lebih baik sebagai wilayah khusus atas perintah UUPA No. 11 Tahun 2006. Kami menilai tata ruang Aceh belum mencerminkan perlindungan yang lebih baik,” kata dia lagi.

Disamping itu miss komunikasi lintas kelembagaan pemerintah, jelas M. Nur,  masih menjadi kendala utama dalam membangun Aceh yang lebih baik dari pemanfaatan dan menjaga ruang dari pengelolaan sumber daya alam.

Direktur Walhi Aceh mencontohkan kasus, lahirnya kebijakan kementerian kehutanan mengubah hutan Aceh mencapai 80 ribu hektare melalui SK 941 Tahun 2013 yang menurut dia merupakan usulan yang tertutup dengan tujuan yang kabur.

“Selain itu terbitnya sertifikat kepemilikan lahan oleh BPN di dalam kawasan hutan lindung Seulawah merupakan dua contoh lemahnya koordinasi lintas kelambagaan pemerintah, dampak atas kebijakan pemerintah yang dapat melemahkan daya dukung lingkungan hidup sebagai perbuktian sebagai pengganti bencana ekologis selain tsunami,” sebutnya.

Terbitnya berbagai perizinan usaha perkebunan, pertambangan maupun jenis bisnis lain yang merusak sumberdaya alam, kata M. Nur,  merupakan akumulasi kebijakan pemerintah lokal, maupun nasional di periode yang berbeda, hanya saja dikarena Aceh tidak punya menajeman bank data yang baik untuk direview oleh publik masih menimbulkan perbedaan data dan informasi mengenai data dan fakta, sehingga keterbukaan informasi masih dianggap menganggu bisnis para politik maupun berbagai aktor.

Masih kata M. Nur, harusnya Aceh harus segera berbenah dari berbagai aspek kebijakan pemerintah, kelembagaan maupun pendanaan, yang mendukung perbaikan tata kelola sumber daya alam yang dapat menguntungkan bagi lingkungan hidup, sosial, dan HAM. (saniah ls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *