Pelayanan Istimewa di Citilink Bak Ibu Negara

Oleh: Linova Rifianty

AcehNews.net – Setiap kali membuka gadget, saya seringkali takjub dengan melesatnya perkembangan teknologi informasi. Tidak terikuti lagi kecanggihan fungsi perangkat lunak dalam 20 tahun terakhir.

Penemuan-penemuan baru terus lahir, terbukti pula kekinian tersebut mempermudah kerja serta mampu mengelola berbagai kesulitan.

Bagi saya yang berkutat dengan media massa, teknologi mumpuni ini terasa mulai dari cepatnya mendapatkan info, proses pengiriman video, pembuatan berita, data, menemukan narasumber, sangat mengefektifkan peran jurnalis.

Well, kemajuan ini tentu juga terasa bagi profesi lain, petani mudah menemukan bibit unggul, pebisnis gampang mendapatkan pasar empuk, atlet mencari turnamen bergengsi, pelaku politik koar-koar diikuti follower yang masif, dan masyarakat luas dengan beragam kepentingan.

Robotik dan kecerdasan artifisial sudah mirip virus di merata bidang, mewabah liar ke semua hal. Piranti lunak kini juga diandalkan membaca diagnosa dokter. Restoran punya mesin pembuat sushi, mi, kue…bukan hanya menggantikan fungsi chef atau koki juga pelayanan pramusaji.

Lalu…pilih robot atau manusia? Walah! Saya termasuk dalam kelompok segelintir orang yang skeptis saat pekerjaan manusia diganti dengan mesin. Benda mati dijalankan dengan komputer? Aduh, kalau batere habis, listrik putus, malfungsinya komputer gimana? Efisien dan hemat sih, tapi…

Meski dioperasikan oleh manusia, rasanya tetap ada yang gak pas, kurang. Seolah malam tanpa suara serangga, rerumputan hijau tanpa embun, menikmati sunset tanpa cahaya oranye, hampa akan nilai-nilai humanis yang seharusnya menjadi patokan utama prilaku kehidupan di bumi.

Ngomong-ngomong soal hal-hal humanis nih, saya punya pengalaman yang tak terlupakan ketika menaiki pesawat terbang. Sudah jelas  kalau pakem di dalam kabin terbang itu kudu ikut aturan, ketat, ini itunya sangat robotik. Tapi kisah ini malah terkait hal unrobotik (halah!).

Suatu pagi yang cerah di penerbangan dari bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta menggunakan pesawat Citilink, 30 menit setelah take off, tubuh ini dibuai kantuk hebat. Sejujurnya saya memang kecanduan terbang dengan maskapai berwarna hijau ini sejak lama. Selain on time, pilotnya gak pernah buat penumpang kayak karung beras ketika melewati turbulensi…ser ser ser nyaman, piawai memberi perasaan super tenang. Itu mengapa saya terpulas!

Nah, pahitnya durasi terbang Jakarta menuju Medan dua jam, saya baru terjaga dari tidur yang diawang-awang tadi 30 menit sebelum landing. Mata masih terasa sepet dan asyik terbius masyuknya terbang. Namun mulut begitu meraung-raung menginginkan kopi panas. Setelah menekan tombol panggilan pramugari, keinginan menyeduh secangkir kopi ini pun saya utarakan pada awak kabin.

Beliau berkerudung, pipinya merah disiram cahaya putih dari jendela, tapi…
“Ibu maaf, kita sebentar lagi landing, penjualan sudah closing, mohon maaf ya….”

Membayangkan lezatnya langit-langit mulut disiram kopi pun buyar.

“Mbak nyenyak sekali tidurnya tadi, sampai pembagian snack gratis pun terlewatkan.” Ujar tetangga deretan duduk saya sambil memasang muka prihatin. Wajah ini pasti sudah terlalu kuyu menginginkan kafein panas hingga pantas dikasihani.

Sambil menghibur diri mata membuang pandangan keluar jendela, terlihat memang pesawat mulai menurun dari ketinggian. Garis pantai memanjang membatasi lautan, muara sungai  bertemu laut tampak kuning cokelat mirip cairan kopi latte (ya Allah, kopiii), sementara bukit-bukit kecil mirip gundukan pisang rebus memenuhi mata.

Namun tak berapa lama, dari balik pembatas kursi yang sebagian ruangnya berhadapan ke arah toilet, menyeruak bau kopi, maklum kursi saya yang berada di depan bernomor kursi 1F bersisian langsung dengan ruang awak kabin. Sontak saya mengomel dalam hati,

“Giliran pilot minta kopi saja masih dilayani…” dumelku, membatin.

Bau uap white kopi panas meliuk-liuk di saraf penciuman, bikin lidah makin pahit, mulut kecut dan omelan bertumpuk di ubun-ubun. Apalah saya ini, cuma penumpang biasa, anonim pula, kalau tadi terkenal semisal pejabat negeri barangkali secangkir kopi itu sudah digerakkan ke arah saya, ujar kata hati, lebay! Demi menghibur diri mata memerhati awan-awan yang menyerupai asap…mirip uap, ruap kopi dari sebuah cangkir, oh Tuhan, aroma kopi ituuu!

Belum selesai membatin negatif tadi, tiba-tiba asap kopi yang terlihat di luar jendela tadi terasa datang dari sisi kiri. Tadaaa…sebuah tangan bersih bak porselen di depan mata.
“Ibu, pesanan memang sudah closing, tapi saya punya stok white coffee punya saya sendiri, ini saya buatkan khusus untuk ibu, tidak perlu bayar.”

Prang! Ijuk rontok, panci bocor, sendok bengkok! Berdosalah sudah diri ini marah batin yang tak jelas! Sudut mata melirik pada tetangga sebelah yang seolah terlihat iri, aih piktor, pikiran kotor!
“Harum sekali kopinya, Mbak?” Ujar si tetangga tanpa disahuti pramugari berkerudung hijau ini, sembari tangannya mengeluarkan meja dari sandaran lengan, kopi pun berpindah.

Merasakan pengalaman yang sangat humanis ini, sontak saya berdoa semoga sampai dunia kiamat jangan pernah peran awak kabin tergantikan robot.
Sumpah, kebaikan hati kru kabin ini membuat saya berasa seperti Ibu Negara. Ohlala Ibu Negaraaa…karena perlakuan istimewa. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *