Menanti Strategi Jokowi Turunkan Emisi Karbon

Di era SBY, Indonesia pernah menjadi game-changer dalam niat penurunan emisi gas rumah kaca. Bagaimana dengan Jokowi?

Aktifis lingkung berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 2 Desember 2009. Mereka menuntut pemerintah AS untuk berbuat lebih dalam menurunkan emisi karbon. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Pemerintah Tiongkok melalui dewan negara mengumumkan strategi pengelolaan energinya. Detil strategi ini diumumkan dua hari lalu. Sebagaimana dikutip kantor berita Tiongkok, Xinhua, pemeritahan Presiden Xi Jinping menjanjikan kemandirian energi termasuk pengembangan inovasi energi dan energi ramah lingkungan. Strategi pengembangan energi Tiongkok ada di tautan ini.

Pengumuman dewan negara cukup detil, mencakup membatasi konsumsi batubara sebesar 4,8 miliar ton di tahun 2020, dan memastikan bahwa porsi batubara tidak lebih dari 62 persen dalam kombinasi penggunaan energi di Negeri Tirai Bambu itu pada 2020. Tiongkok juga akan menggenjot produksi energi ramah lingkungan termasuk dari nuklir, menjadi 20 persen dari komposisi energi di tahun 2020.

Strategi energi ini ditujukan untuk mencapai target pengurangan emisi karbondioksida yang biasa disebut juga gas rumah kaca (GRK), paling tinggi pada 2030. Tiongkok adalah produsen emisi GRK, pula pengguna energi batubara yang besar.

Saat berlangsungnya pertemuan pemimpin ekonomi negara anggota APEC, Presiden Xi Jinping dan Presiden Barack Obama mengumumkan komitmen bersama untuk mengurangi emisi GRK di masing-masing negara. Pengumuman dari dua negara penghasil emisi terbesar di dunia ini menjadi kepala berita media internasional.

AS berkomitmen mengurangi GRK 26-28 persen dari posisi 2005, pada 2025. Pengumuman itu membuat posisi Barack Obama di panggung dunia terjaga. Di dalam negeri presiden negara adidaya ini sedang melorot popularitasnya. Partai Demokrat yang mendukungnya kalah di pemilu sela awal November.

Obama berkunjung ke Asia sebagai politisi yang “lemah”. Tapi, pengumuman bersama dengan Presiden Xi Jinping menempatkan AS di bawah Obama tetap sebagai game-changer dalam kampanye global melawan dampak perubahan iklim.

Bicara game-changer, saya teringat pengalaman meliput Konperensi Tingkat Tinggi Perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad menjadi game-changer.

Di forum itu SBY mengumumkan rencana Indonesia mengurangi emisi gas karbon atau biasa juga disebut dengan gas rumah kaca, menjadi 26 persen pada 2020. Cop-15, sebutan KTT Perubahan Iklim Konpenhagen, saat itu dibayang-bayangi kegagalan karena debat keras kutub AS melawan kutub Tiongkok dan negara berkembang. Kisahnya bisa dibaca di laporan ini.

Pengumuman SBY disambut pujian di forum internasional itu, juga di kalangan penggiat lingkungan hidup. Bagaimana angka 26 persen itu muncul, saat itu jadi misteri juga untuk delegasi. Di pesawat kepresidenan menuju Kopenhagen, pembuat pidato presiden, Dino Patti Djalal, bolak-balik ke kabin presiden untuk revisi pidato dan pengumuman. Tim delegasi Indonesia yang dipimpin Rachmat Witoelar, mantan menteri lingkungan hidup, sudah ada di Cop-15 beberapa hari sebelum rombongan presiden tiba di sana.

Bahkan delegasi Indonesia pun tidak paham bagaimana angka itu muncul, dan bagaimana hitungan untuk mencapai target itu. Yang kemudian diketahui secara luas oleh publik adalah proyek penanaman sejuta pohon yang oleh kementerian kehutanan diklaim sebagai upaya nyata mengurangi emisi gas rumah kaca. Pencanangannya dilakukan secara besar-besaran.

SBY juga menerbitkan Keputusan Presiden No 24/2008, menetapkan 28 November sebagai Hari Menanam Pohon. Kampanyenya dibungkus dengan sebutan one man one tree. Entah mengapa menggunakan istilah “man”. SBY mengajak menanam 4 miliar pohon trembesi, bertahap sampai tahun 2020, dan 9,2 miliar pada tahun 2050. Pemerintah juga menerbitkan peraturan No 61/2011 untuk menindaklanjuti target pengurangan emisi gas rumah kaca. Tidak banyak diketahui publik.

Dari sisi diplomasi luar negeri, inisiatif SBY diCop-15, sebagai lanjutan Bali Road Map, dalam hal penurunan emisi GRK, mendapat apresiasi. Tak heran jika setelah pensiun dari jabatan presiden, SBY diganjar posisi sebagai ketua institut global pertumbuhan hijau, sebuah lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pekan ini SBY memulai tugasnya memimpin sidang lembaga tersebut, di Seoul, Korea Selatan.

Awal pekan ini juga saat bertemu dengan media jelang pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan pihaknya akan merumuskan kebijakan energi yang mendorong energi ramah lingkungan.

“Kenaikan harga BBM mendekati harga pasar yang normal akan memberikan insentif bagi pengembangan energi terbarukan,” kata Sudirman. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menambahkan komitmen BUMN, termasuk Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk memperbanyak konversi energi ke gas.

Dalam dokumen rencana besar pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt yang dibagikan ke media (17/11), ada catatan yang menyebutkan bahwa pemerintah akan menyediakan fasilitas mengatasi hambatan (bottleneck) investasi berupa: penjaminan pemerintah untuk investasi, percepatan persetujuan pinjaman kredit luar negeri, fasilitasi pembebasan lahan, mempermudah perijinan, penyesuaian harga jual beli listrik IPP yang lebih menarik terutama energi terbarukan, fasilitasi penyediakan gas untuk pembangkit listrik serta perlindungan hukum bagi pelaksana proyek.

Nawa Cita, visi misi Presiden Jokowi-JK, juga mencantumkan secara singkat niat kedaulatan energi. Ini yang belum dijelaskan secara detil kepada publik. Pada masa kampanye pemilihan presiden, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia, sehingga adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

“Subsidi dihilangkan akan ada energi penggantinya. Misalnya, minyak sawit untuk solar dan etanol pengganti premium,” kata Darmawan, sebagaimana dikutip laman viva.co.id.

Kecuali penanaman pohon, masyarakat tidak banyak tahu implementasi komitmen Indonesia mengurangi emisi GRK, pula kebijakan energi. Di masa SBY, dicanangkan proyek energi dari minyak daun jarak. Gagal total. Konon, kendalanya adalah soal tata niaga, yang herannya tidak dipikirkan saat proyek ini dicanangkan secara langsung oleh SBY di tahun 2007. Proyek Blue Energy inisiatif orang dekat SBY malah mengundang kritik tajam. Gagal.

Hingga kini penggunaan energi fosil masih mendominasi di Indonesia. Minyak bumi tercatat sebagai yang terbesar, disusul gas dan batubara. Menurut data Komite Inovasi Nasional, energi terbarukan seperti hidro, panas bumi dan lainnya baru mencapai tujuh persen.

Seiring kebijakan diversifikasi energi, pada 2025 penggunakan energi fosil direncanakan dipangkas dari 93 persen menjadi 83 persen. Penggunaan energi baru dan terbarukan didongkrak menjadi 17 persen, dengan lima persen diantaranya bahan bakar nabati (biofuel). Kalau ini bisa disebut sebagai kebijakan energi, sifatnya masih umum.

Apakah Presiden Jokowi akan memperbaiki dengan meluncurkan kebijakan energi yang lebih detil dan transparan? (rappler.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *