Makmeugang “Warisan” Nenek Monyang

Makmeugang adalah tradisi masyarakat Aceh yang sudah begitu lama, sehingga informasi yang saya peroleh tidak begitu menjurus pada sejarah dan asal-usul Makmeugang yang jelas di kalangan masyarakat Aceh sekarang. Makmeugang dalam bahasa indonesianya Petang  Megang yang artinya Sore Megang (sore hari) yang pada esok harinya menjalankan ibadah puasa. Makmeugang ini sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Aceh baik dari kalangan kaya maupun kalangan miskin, rasanya puasa tidak afdal tanpa merayakan hari meugang.

Makmeugang terdiri dari dua kata “Makmeu dan Gang”. Makmeu berasal dari kata makmu yang artinya makmur. Jadi makmur itu membuat semua secara menyeluruh anggota masyarakat pada hari menjelang bulan puasa dapat merasakan danging sapi atau kerbau, baik itu pakir-miskin, anak yatim, masyarakat ekonomi tinggi maupun ekonomi rendah, sehingga memua masyarakat dapat menikmati dan merasakan danging dalam setahun tiga kali dengan keluarga, yaitu pada meugang puasa, meugang lebaran hari raya Idul Fitri dan meugang hari raya Idul Adha. Sedangkan Gang yang dimaksudkan dengan adalah Gang tempat penjualan (gang Pasar).

Biasanya Makmeugang ini selain melakukan seumesie (sembelih kerbau atau sapi) juga memberi santunan kepada pakir miskin dan anak yantim oleh kalangan dermawan, ini sangat mengandung nilai relegius dan rasa syukur selama setahun berkerja. Semeusi (sembelih) kerbau atau lembu megang puasa ini dilakukan dua hari sebelum puasa, biasanya ini dilakukan di tempat perairan seperti di pantee krueng (pantai sungai), ini di karnakan perairannya mudah sehingga kotoran dan daging tersebut mudah dibersihkan. Pelaksanaannyapun dilakukan saat subuh (pagi) sehinggag proses penyembelihannhya cepat,

Seumeusi ini dilakukan di pantai yang dekat dengan pusat pembelanjaan. ada juga yang melakukan seumeusie dikampung tempat dia (masyarakat) tinggal, sehingga transportasi Masyarakat tidak terlalu jauh, kemudian padagang musiman pun menjamu di beberapa tempat pejualan di gang-gang, tempat penjualan itupun sangat ramai dan padat.

Warisan nenek monyang itu sudah menjadi budaya yang tidak boleh terlewatkan. Di dalam tulisan Nurdin Hasan yang diposting (8/13), Badruzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), ketika diwawancari (7/13), menyebutkan makmeugang pertama kali dilakukan pada masa Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh di abad ke-16 Masehi.

Pada hari makmeugang, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak. Dagingnya dibagi-bagikan secara gratis kepada rakyat yang membutuhkan sebagai bentuk rasa syukur atas kemakmuran kerajaan dan sekaligus wujud terima kasih bagi rakyatnya.

Istilah makmeugang sudah ada tercantum sejak dulu, tertuang dalam Qanun atau undang-undang kesultanan Aceh Darusalam yang dikenal dengan qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek dalam Bab II Pasal 5, yang berlaku di masa Kerajaan Aceh di bawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Disitu menjelaskan satu bulan sebelum mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa maupun meugang hari raya, seluruh geusyik, imum gampong dan tuha peut di Aceh wajib memeriksa keadaan kampungnya sendiri.

Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong bale (janda), yatim piatu, orang sakit/cedera atau pun orang yang sudah tidak mampu lagi mencari nafkah. jumlah itu dilaporkan pada imam mukim, lalu meneruskan kepada Kadi Muazzam, lalu disampaikan lagi pada Syahk Al-Islam hingga dilaporkan kepada Sultan Aceh.

Selanjutnya Sultan memerintahkan Tandi (ajudan sultan) siasatnya untuk membuka balai silaturrahmi atau gudang logistik kerajaan untuk mengambil dirham secukupnya guna membeli kerbau atau sapi.

Setelah Aceh dikalahkan oleh Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau pada hari makmeugang. Tradisi itu tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh sampai dengan saat ini” katanya.

Menurut saya makmeugang adalah orang-orang yang merindukan kebersamaan, rasa syukur dan makan bersama dengan orang-orang yang dikasihinya, biasanya yang merindukan hal ini adalah sosok orang tua (ibu dan ayah). Kehadiran anak-anak dan cucunya sangat diharabkan. dalam tradisi ini berbagi persiapan telah di persiapkan sejak jauh-jauh hari, bahkan mereka rela menjualkan harta mereka dengan haraga yang sangat muerah demi hari megang.

Kenapa harus daging sapi atau lembu.?

Masyarakat yang ada di Aceh terdapat beberapa lapisan ekonomi, seperti ekonomi rendah, ekonomi menengah, dan ekonomi atas. Tidak semua lapisan masyarakat dapat membeli daging seperti pakir-misakin, anak yatim dan janda. Dengan adanya tradisi makmeugang (kemakmuran), semua lapisan masyarakat dapat merasakan daging sekurang-kurangnya satu kali dalam se-tahun. Jadi, semiskin-miskinnya orang Aceh, mereka dapat makan daging. Kalau tidak sanggup membeli sendiri, biasanya daging diberikan oleh orang kaya (dermawan).

Bukan hanya daging sapi  atau danging kerbau, makmeugang itu dilengkapi dengan tot lumang (bakar lemang), keutupek (ketupat) dan tape (tape). Ketiga hal itu sudah menjadi pelengkap di hari makmeugang. Di perkampungan mayoritas membuat lemang dan tape. Sedangkan daerah perkotaan membuat ketupat.

Menurut Badruzzaman, banyak manfaat dalam tradisi makmeugang. Hari itu, terjadi interaksi sosial antara masyarakat, dimana orang kaya memberi daging untuk warga miskin. Selain itu, terjadi silaturrahmi dan kebersamaan sesama warga atau anggota keluarga. Melalui tradisi meugang, masyarakat Aceh selalu terjaga silaturahminya baik dengan keluarga sendiri maupun dengan tetangga. Biasanya warga yang merantau ke kota akan pulang kekampung halaman tempat dia lahir untuk menikmat hidangan bersama dengan keluarga.

Ekonomi rakyat pun tumbuh karena terjadi transaksi jual beli dalam jumlah besar. Selain jual beli daging, berbagai kebutuhan dapur laris manis pada hari makmeugang, karena banyak warga ke pasar membeli berbagai keperluan dalam mempersiapkan puasa Ramadhan.

Fatimah (Ibu Armi Andong) menyatakan rasanya sangat sedih bila makmeugang ini tidak dilaksanakan atau dirayakan, orang tua sebagai ibu, merasakan tidak lengkap tanpa merayakan hari megang bersama keluarga (tuturnya).

Makmeugang mengandung nilai

Makmeugang yang dilaksanakan itu bukan hanya berkumpul dengan keluarga atau hanya makan bersama. Banyak nilai-nilai yang terkandung di hari makmeugang ini, seperti upaya mensyukuri datangnya bulan suci ramadhan (religius), menghormati orang tua, kebersamaan dan berbagi bersama.  Bukan hanya itu nilai sedekah, seperti menyantuni fakir miskin dan anak yatim yang dilakukan oleh para dermawan.

Bagi lelaki, terutama yang baru menikah sudah menjadi budaya khusus menyediakan beberapa kilogram danging sapi yang dinerikan kepada mertuanya sebagai bukti bahwa dia sudah mampu menafkahi keluarganya serta menghormati orang tua. Bukan hanya itu santripun mendatangi rumah dewan guru memberi masakan daging sebagai bentuk penghormatan.

Makmeugang ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Aceh, tradisi ini sudah berabat-rabat menjadi budaya aceh. Bagi masyarakat Aceh tradisi ini sangat penting dan istimewa, tanpa merayakan mengang ini rasanya tidak kompleks (lengkap), dimana kebahagiaan dapat terhujud secara besama-sama sebagai bentuk syukur selama setahun berkerja. (Armiya Andong, Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Abdya, Jurusan Matematika)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *