Terkait Isu Pencabutan Perda Jilbab,
Ini Penjelasan Mendagri Kepada Masyarakat Aceh

 

AcehNews.net|BANDA ACEH – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, membantah isu pencabutan Perda (qanun) Wajib Jilbab di Aceh. Menurut dia, ada kesalahpahaman dari media sehingga informasinya tak sesuai. Sebab, ia hanya mengungkapkan agar daerah lain tak meniru kebijakan daerah otonomi khusus seperti Aceh.

“Saya cuma meminta agar daerah lain tidak membuat peraturan sama seperti Aceh. Misalnya, Surabaya bikin P0erda soal wajib berjilbab. Kalau Aceh tidak mengapa, karena memang daerah syariat Islam,” katanya dalam rilis yang dikirim ke acehnews, Jumat (26/02/2016).

Dia memahami kalau ada aturan soal wajib jilbab di Aceh. Pernyataan yang meluas soal larangan tersebut, apalagi sampai mencabut peraturan daerah (Perda) Aceh dinilai hanya sebuah rekayasa media (plintiran berita). Justru ia mendukung adanya peraturan tersebut.

Alasannya Aceh sendiri merupakan daerah Serambi Mekah dimana mayoritas masyarakat di sana beragama muslim. Belum lagi provinsi itu merupakan otonomi khusus yang menerapkan syariat Islam. Makanya tidak masalah bila Aceh mewajibkan penggunaan jilbab bagi wanita muslim.

“Saya hanya bicara supaya daerah lain tak meniru ketentuan seperti Aceh. Di daerah lain itu penggunaan jilbab itu suatu kesadaran. Aceh ini memang terapkan syariat Islam,”tegas Tjajo Kumolo.

Berbeda dengan sejumlah provinsi lainnya. Tidak ada kekhususan dan daerah-daerah tersebut juga tak seperti Aceh yang punya komitmen dengan status keyakinan masyarakatnya. Selain itu, tidak ada daerah yang memang secara keseluruhan memeluk satu agama tertentu.

Aceh dinilai sangat toleransi dengan agama lain. Penggunaan jilbab tersebut hanya berlaku kepada wanita muslim. Sedangkan, masyarakat khususnya wanita nonmuslim yang tinggal atau datang ke Aceh tidak diikat dengan aturan tersebut. Mereka (non muslim) hanya diminta berpakaian sopan.

Ia menyarankan kepada perwakilan biro hukum provinsi yang hadir dalam rakornas tersebut justru harus melibatkan tokoh agama dan adat dalam menerbitkan perda yang ada kaitannya dengan masalah keyakinan masyarakat. Misal berkordinasi dengan MUI, PBNU, dan Muhammadiyah.

“Kalau Perda Otsus itu hati-hati. Seperti di Yogyakarta, kalau memang ada ribut di dalam urusan keraton, maka birokrasi tak boleh masuk mencampuri persoalan tersebut,”ujar Mendagri mencontohkan.

Kementerian Dalam Negeri sekarang ini memang tengah gencar mengarahkan agar pemerintah provinsi serta kabupaten/kota memangkas perda yang dianggap bermasalah. Namun hal tersebut lebih kepada peraturan yang bersifat menghambat investasi serta perizinan publik.

 

“Jadi memang kalau daerah itu ada Perda yang menghambat investasi, maka harus dicoret. Misal, ada peraturan yang menjadi kendala pembangunan listrik sehingga memakan waktu lama. Itu harus dihapus. Begitu juga dengan perizinan publik untuk membuat KTP, akte lahir, kartu keluarga. Jadi bukan soal perda Aceh yang mewajibkan penggunaan jilbab. Itu hanya plintiran saja,”demikian pungkas Mendagri. (agus)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *