Himne dengan Bahasa Aceh Akan Timbulkan Konflik Sosial

BANDA ACEH | AcehNews.net – Berbagai penolakan sayembara himne Aceh terus bergulir dari berbagai lapisan masyarakat serta Gerakan Perempuan Aceh yang berharap agar dewan mempertimbangkan bahasa yang digunakan tidak hanya satu bahasa yaitu bahasa Aceh.

Akademisi Aceh, Prof. Dr. Syamsul Rizal, M.Ag kepada AcehNews.net yang ditemui AcehNews.net beberapa waktu lalu di Banda Aceh mengatakan, untuk membangun Aceh, dalam beraneka sosial berkehidupan, legislatif maupun yudikatif, tidak boleh lupa dengan akar historis atau sejarah Aceh.

“Islam sebagai agama yang dianut, sebagai akar historis kita tidak bisa memungkiri bahwa ada sembilan etnis yang ada di Aceh, bagaimana mempersatukan itu. Itu kemudian yang harus bersama-sama dipikirkan, sehingga tidak munculkan konflik sosial,” ucapnya.

Kemudian, lanjutnya, Islam itu adalah menghargai perbedaan, menghargai kebersamaan. Inilah menurutnya yang harus ada kearifan-kearifan seperti itu.

“Jadi, bagaimana itu bisa diakomodir, saya kira masalah teknis para ahlinya yang harus duduk dulu, lihat bagaimana Aceh masa lampau untuk mempersatukan ini. Dalam konteks kemoderenan juga harus bisa Aceh itu harus bersatu. Kalau memang disepakati bahwa hymne itu dalam bahasa Aceh, ya kita harus terima karena itu adalah kesepakatan kita. Kalau memang belum disepakati ya kita harus cari celah atau solusi-solusi bijak bagaimana teknis ini, itu kan soal teknis,” kata Prof. Syamsul Rizal.

Dia mencontohkan, misalnya ada bait yang tertentu dalam himne Aceh dari berbagai bahasa yang ada di sembilan suku tersebut. “Saya nggak ngerti dalam seni suara, ada suara satu, suara dua, suara tiga, itu kan bisa digabungkan. Ketika baiknya suara satu bahasa Aceh, suara duanya bahasa apa misalnya, dan suara tiga bahasa apa. Mungkin akan lebih indah karena semua bahasa dari suku yang ada dalam himne Aceh. Itu misalnya ya,” katanya memberi masukan.

Tapi itu, kata Prof. Syamsul Rizal akan sulit karena ada benturan, benturan dalam mengkrit sebuah hymne. “Saya kira yang berwenang harus mampu mengaudit itu. Tapi kalau sudah dikebijakan memutuskan bahwa dalam bahasa Aceh, sudah ditetapkan dalam bahasa Aceh, kita harus konsisten,” kata dia.

Namun semua, kata Wakil Rektor UIN Ar-Raniry ini tergantung resistensi kebijakan, kalau kebijakan ini tidak dipahami oleh semua pihak, oleh barisan masyarakat, tidak diterima sebagai sebuah keputusan maka akan berkonflik sosial, itu tidak bisa dipungkiri.

“Oleh karenanya, kita harus bijak dalam menangani merespon secara kreatif sehingga bisa diblokir tidak ada unsur konflik sosial,” harapnya.

Akademisi ini memberi solusi agar tidak terjadi konflik baru gara-gara Himne Aceh hanya menggunakan satu bahasa, adalah harus kebijakan legislatif yang memutuskan itu dan harus bisa disosialisasikan.

“Kita akan paham bahwa tentu ada kebijakan sendiri oleh legislatif memutuskan hymne itu dengan bahasa Aceh. Ini harus diturunkan harus didialogkan dan harus mampu sampai signifikan secara tuntas dan dipahami oleh semua pihak. Tentunya semua pihak harus menerima bahwa itu adalah sebuah keputusan lembaga legislatif tertinggi, jika sudah disepakati,” demikian pungkasnya. (saniah ls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *