Duka Pengungsi Rohingya Jadi Pegantin Anak dan Alami Kekerasan Domestik

JAKARTA | AcehNews.net – “Dalam beberapa tahun terakhir, saya berulang kali mengutuk perlakuan yang tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu teman saya, penerima Nobel Aung San Suu Kyi melakukan hal yang sama.” Pemenang Nobel Perdamaian Malala Yousafzai menuliskan pernyataan ini di akun Twitternya @Malala, Senin, 04 September 2017.

“Hentikan kekerasan. Hari ini kita melihat gambar anak-anak kecil dibunuh oleh tentara Myanmar. Anak-anak ini tidak menyerang siapapun, tapi rumah mereka dibakar sampai habis,” kata Malala, aktivis pendidikan dari Pakistan.

Twitter Ads info and privacy
Malala mewakili perasaan jutaan warga dunia yang hari-hari ini sedih dan miris menyaksikan tragedi kemanusiaan di Rakhine State, sebuah wilayah miskin dan gersang di bagian barat Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh.

Kekerasan bersenjata memuncak lagi dalam dua pekan terakhir. Lembaga kemanusiaan mencatat sedikitnya 400 tewas. Sekitar 30.000 warga Muslim Rohingya lari menembus perbatasan, menghindari persekusi tentara.

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan di Rakhine itu termasuk anak-anak perempuan. Sebuah survei yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa memunculkan angka yang membuat pedih. Lebih dari separuh anak perempuan Muslim Rohingya yang terpaksa melarikan diri ke negara lain menikah dini. Mereka juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Sebuah artikel yang diterbitkan Thomson Reuters Foundation pada bulan Mei 2017 memaparkan data organisasi pengungsian PBB, UNHCR. Sejak 2012 kekerasan dan konflik komunal di Rakhine State telah memaksa lebih dari 168.000 etnis Muslim Rohingya, warga minoritas di Myanmar, untuk lari menyelamatkan diri ke negeri lainnya. Termasuk di dalamnya, perempuan dan anak-anak.

UNHCR melakukan survei kepada 85 perempuan Rohingya yang lari dan terdampar di penampungan di India, Malaysia dan Indonesia. Temuannya, antara lain, sekitar 60% anak perempuan terpaksa menikah dini sebelum usia 16-17 tahun. Rata-rata mereka melahirkan anak pertamanya pada usia 18 tahun.

“Satu dari setiap tiga perempuan dan anak perempuan juga mengatakan mereka menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga,” demikian laporan UNHCR tahun 2016, tentang Mixed Movements in Souteast Asian.

Kami memberikan konsultasi kepada mereka tentang pilihan yang ada, dan jika mereka setuju, kami merujuk ke mitra atau penampungan yang dapat mengurusi perempuan yang rentan ini,” kata juru bicara UNHCR Asia, Vivian Tan.

Meningkatnya jumlah perempuan dan anak perempuan yang menyelamatkan diri dari persekusi tentara Myanmar, dan terpaksa menetap di penampungan sementara meningkatkan potensi terjadinya perdagangan manusia, eksploitasi seksual dan penikahan di bawah umur.

Data UNHCR menunjukkan, ada sekitar 8.000 perempuan dan anak perempuan Rohingya usia 14-34 tahun mengungsi ke Indonesia dan Malaysia, negara yang menjadi lokasi survei yang dilakukan tahun lalu.

Temuan lain adalah, anak perempuan Rohingya yang bermukim di India lebih baik posisinya karena bisa memilih calon suami. Sementara 76% yang mengungsi ke Malaysia mengaku mereka harus menerima pernikahan yang diatur keluarga atau makelar. Sebuah fenomena meningkatnya perdagangan manusia.

Para aktivis mengatakan, mereka melihat ada peningkatan jumlah pengantin perempuan anak-anak di kalangan pengungsi Rohingya gara-gara memburuknya kekerasan di Rakhine State. Para pedagang manusia menjual anak-anak perempuan Rohingya ke para lelaki yang mencari calon istri.

Karena status sebagai pengungsi yang membuat mereka ditolak untuk bekerja di sektor formal, hanya 7% dari perempuan yang disurvei memiliki pemasukan untuk menopang hidupnya. Padahal, dua pertiga dari responden mengaku mereka ingin memiliki penghasilan sendiri.

UNHCR memperkirakan ada 420.000 pengungsi Rohingya di berbagai lokasi termasuk di sejumlah negara. Sementara jumlah yang terusir dari rumah dan kampungnya di Rakhine dan masih terkatung-katung di kawasan itu ada sekitar 120.000.

Tahun 2015, masuk laporan yang menyesakkan dada dari pengungsi Rohingya di Aceh Utara. Sebagaimana dilaporkan Koran Kompas, sebanyak enam pengungsi Rohingya di penampungan Bkang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, disekap dan diperkosa oleh sejumlah orang tak dikenal di kawasan Jalan Line Pipa, dekat penampungan.

Dari enam yang disekap, empat di antaranya mengaku menjadi korban pemerkosaan.(Rappler.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *