Berziarah ke Makam Papan Tinggi Barus  

Suasana desa terlihat sederhana, tidak ada yang istimewa. Bus yang penulis tumpangi bersama teman-teman Sejarah Kebudayaan Islam menuju ke parkiran jalan yang bersebrangan dengan penunjuk arah “Makam Papan Tinggi” pada 17 Januari 2015.

Makam Papan tinggi terletak di Desa Penanggahan, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Perjalanan ke Barus di tempuh sangat melelahkan selama 18 jam dari Kota Banda Aceh melalui jalur Pantai Barat-Selatan dan 20 jam dari Pantai Barat-Timur karena sering Macet di Kota Medan.

Perjalanan menuju makam papan tinggi mulanya menempuh jalan setapak hingga di ujung jalan terdapat orang yang menjaga pintu masuk meminta bayaran Rp2 ribu/orang bagi setiap penziarah.

Lokasi pemakaman masih jauh, harus menempuh desa, lubuk larangan kemudian tangga yang bertingkat-tingkat melalui puncak bukit dengan berjalan kaki.  Desa Penangahan yang merupakan daerah turorial untuk Makam Papan Tinggi uniknya hanya dihuni oleh sebuah keluarga yang muslim lainnya non muslim, rumah keluarga ini terletak di ujung jalan menuju papan tinggi dan keluarga ini pula yang menjadi juru kunci untuk makam Papan Tinggi.

Pekerjaan yang dilakoni oleh masyarakat setempat umumnya adalah bercocok tanam atau berternak maka tidak heran jika di halaman rumah masyarakat terdapat hewan ternak seperti ayam, itik, anjing, dan babi, kebayakan ternak babi.

Setelah melewati desa menuju ke lubuk larangan yang diseberang lubuk terdapat kamar mandi umum tempat warga setempat mandi , mencuci atau membuang hajat. Makam Papan Tinggi sebenarnya adalah makam Syech Mahmud, tangga di Makam Syech Mahmud ini di bangun pada masa Soekarno yang di resmikan oleh Adam Malik pada 1980-an.

“Orang-orang desa menyebut makam ini sebagai makam tuan di atas karena makamya berada di atas bukit yang jauh. Dulunya makam Syeh Mahmud ini berada di daratan menurut leluhur Kami namun karena pengaruh iklim maka laut semakin surut dan akhirnya makam ini terletak di atas bukit,” ujar Usman, Juru Kunci Makam Papan Tinggi.

Dosen pendamping mahasiswa, Laila Djalil mengatakan, Pusat Arkeologi Nasional sudah pernah membuat penelitian di makam ini. Jika ingin tau lebih lanjut, kata Laila silahkan baca buku Labu Tua dan Sejarah Awal Barus yang disunting oleh Claude Guillod.

Sebut Laila, jumlah tangga menuju ke Papan Tinggi ini mencapai 780 anak tangga. Soal jumlah anak tangga masih berbeda masalah perhitungan, kata Laila ada yang menghitung 744 ada yang menghitung 780 bahkan ada pula yang menghitung hanya 710 anak tangga.

Batu nisan Syech Mahmud di Makam Papan Tinggi|Nita Juniarti

Batu nisan Syech Mahmud di Makam Papan Tinggi|Nita Juniarti

Tangga di makam ini dilengkapi dengan tempat berpegangan dan setiap pemberhentian terdapat tempat kosong yang memiliki pohon dan tempat duduk sebagai tempat istirahat, menuju ke Papan Tinggi memang tidak mudah, dibutuhkan tenaga ekstra namun ketika sampai ke atas para penjiarah akan merasa tenang karena setiap pemberhentian terdapat pemandangan yang menakjubkan dengan lautan biru, sawah, dan rumah-rumah.

“Tips untuk menaiki tangga ini paling aman ya satu-satu tangga berhenti biar kaki tidak bengkak dan tenaga tersimpan,” ujar Usman menjelaskan sambil terus menaiki anak tangga dengan santai.

Nanda Mahasiswi Sejarah Kebudayaan Islam angkatan 2011 UIN-Ar-raniry mengatakan, awalnya memang berat sampai ke sini apalagi dalam keadaan kurang sehat, tapi kata Nanda, setelah mensugestikan diri bahwa sehat maka sampailah ke sini dan ketika sampai rasanya senang sekali dan bangga.

Pemandangan ketika sampai di Makam Papan Tinggi disuguhi dengan makam yang dipagari dan di tumbuhi dua pohon besar yang rindang. Makam Syeh Mahmud terdapat di ujung sebelah kiri dari pintu masuk dengan nisan setinggi anak berumur 10 tahun.

Di pintu masuk di tulis “Stop Sendal/Sepatu”, di samping nisan terdapat sebuah sumur petak yang menurut Usman ini adalah bekas guci yang dianggap keramat dimana guci ini hanya berisi setengah namun bisa digunakan ribuan orang, tidak pernah kering di musim kemarau dan tidak pernah meluap ketika musim hujan.

Dua pohon besar seolah terlihat menjadi pelidung makam, di sana juga terdapat tali bermacam warna, ada yang putih, hitam, dan lain-lain yang diikat para penziarah. “Sebenarnya ini adalah syirik, tapi mau bagaimana lagi. Penziarah sudah mempercayainya sejak dulu,” kata Usman.

Tidak mungkin saya membuka satu persatu apalagi jika musim lebaran atau liburan banyak sekali yang berkunjung di sini selama dua tahun saya menjadi juru kunci mengantikan empu saya bahkan hampir setiap bulan ada pengunjungnya.

Pengunjung yang datang ke tempat ini dari berbagai Negara dan daerah, Thailand, Malaysia, Prancis, Amerika, Jerman, Jepang, Austria, India,  Jawa,  dan Sumatera. “Saya memuat buku tamu agar tau siapa saja yang berkunjung,” ungkat Usman.

Konon katanya, jika punya keinginan begitu sampai di makam papan tinggi orang hanya mengucapkan keinginannya lalu mengigat tali di batang pohon kemudian jika keinginannya terkabul maka tali itu harus dilepaskan kembali dan membawanya pulang.

Sebenarnya itu tidak benar, kata Usman. Harusnya percaya kepada Allah bukan kepada hal semacam itu. Lagi pula jika keinginan terwujud kita tidak sempat untuk membuka ikatan ini apa pula yang nanti akan terjadi? Kata Usman melempar pertanyaan.

“Misalnya adik-adik berniat ingin diterima bekerja di suatu tempat. Saat mengunjungi makam ini, adik-adik mengikatkan tali keinginan dan ketika pulang apa yang diinginkan terwujud namun ditugaskan ke Papua bagaimana pula akan membuka simpul ini? Dari sini saja sudah tidak rasional,” kata Usman menutup penjelasannya.(nita juniarti)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *