Asadi, “Ip Man” dari Kota Petro Dolar  

Bagi pecinta film laga mandarin, film “Ip Man” yang di sutradarai oleh Wilson Yip pada 2008 silam mungkin sudah tak asing lagi di telinga. Diangkat dari kisah perjalanan guru Bruce Lee dengan tema seni bela diri wing chun, menjadi film terbaik di nominasi penghargaan per filman Hongkong ke-28.

Sore itu (19/9), pamflet perguruan Wing Chun yang terletak di Jalan Pasar Inpres, Lhokseumawe menyedot perhatian saya, memory lama dari Flm Ip man yang pernah saya tonton setahun silam seakan kembali berputar di ingatan. Tertarik ingin mengenal lebih jauh seni beladiri yang baru berusia 6 bulan itu, saya pun menemui seorang pria paruh baya yang tak lain bernama Asadi. Asadi lah guru di Wing Chun Shaolinsi. Beladiri kungfu yang lebih mengutamakan kesehatan dari pada beladiri.

Suami dari Hanifah ini menyambut kedatangan saya dan mempersilakan masuk ke dalam. Sebuah dummy (boneka kayu yang di gunakan untuk latihan ketangkasan) terlihat bersender di tepat di pintu depan rumah, beberapa hambal warna-warni, tumpukan tongkat ,matras serta seperangkat komputer tertata rapi mengelilingi ruangan kosong ini.

Adalah Asadi. Guru kungfu berdarah Aceh ini adalah lelaki multi talenta. Dia, kelahiran Kota Lhokseumawe, 1961.Telah 6 bulan mengajarkan seni beladiri wing chun di kota “petro dolar” (sebutan untuk Kota Lhokseumawe) dan kini mempunyai 50 orang murid.

Mantan supir labi labi ini menceritakan tentang muasal bela diri wing chun. Kata dia, seni bela diri ini memang tergolong unik dan langka di tanah rencong. Wing chun itu terinspirasi dari pertarungan bangau dan ular. Dulunya di China ada seorang raja yang lalim, sang raja membantai semua ahli kungfu di negeri itu. Hanya seorang pendeta wanita bernama Ng Mui selamat dari pembantaian.

Pada suatu hari ia memperhatikan perkelahian antara bangau dan ular lalu menciptakan kunfu jenis baru. Ng Mui mengajarkan seni beladiri ini kepada seorang wanita bernama Yim Wing Chun, lalu seni beladiri ini di turunkan secara turun temurun. Itulah sebabnya ini dinamakan dengan wing chun.

“Gerakan wing chun lebih hemat, tak banyak serangan dari samping, fokusnya ke tengah dengan kombinasi serangan cepat dan tepat ke titik lemah lawan, sehingga sering di sebut gerakan pemecah kungfu,” sebut Asadi, sembari memperlihatkan beberapa gerakan wing chun kepada saya.

Awal Karier

Sebelum membuka perguruan Wing Chun, awal kariernya di dunia bela diri, dimulai setelah menimba berbagai ilmu bela diri di Medan. Pada waktu itu, ia membuka silat Aceh (Silat Gaib) di kampung halamannya pada awal 2000 . Namun sayangnya roda hidup terlalu cepat berputar, hanya bertahan 3 bulan. Karena menuai kontroversi di kalangan masyarakat sekitar, sehingga perguruan silatnya harus ditutup.

“Padahal saya sudah mau mendaftarkannya ke IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) Lhokseumawe, dan mereka setuju,” timpalnya miris.

Rekam jejaknya tak hanya sampai si situ, tak ingin berlarut-larut dengan perguruannya yang karam, Asadi yang multi talenta ini mendapat pekerjaan di PT.PIM (Pupuk Iskandar Muda) Aceh Utara. Namun hal tersebut juga tak berlangsung lama, jiwa pengusaha yang di turun dari ayahnya membuat ia memilih untuk menjadi supir labi-labi (angkutan umum), dan lalu kemudian membuka sebuah studio foto  di Kota Lhokseumawe, Studi I-BEN.

“Ini usaha yang diwariskan ayah kepada saya. Dulu ayah sebelum punya studio foto adalah pengusaha cincin sumur,” cerita Asadi. Guru kungfu wing chun ini matanya berkaca-kaca, air matanya tak mampu ia bendung, saat menceritakan soal ayahnya.

Setelah jatuh dari satu anak tangga, Asadi mencoba bangkit dan meneruskan langkahnya. Kali ini studio foto yang diwarikan ayahnya itu maju ditangannya. “Dulu sempat jaya, saya sampai bisa beli tanah dan rumah ini,” katanya saat mengingat-ingat kembali kejayaan yang pernah diraihnya tempo dulu.

Namun sayang, kali ini Asadi kembali diuji, studio fotonya mulai sepi. Meski masih ada juga pelanggan setianya yang masih datang ke studio foto I-BEN. “Orang mulai beralih dengan kamera handphone, sehingga jarang menggunakan jasa foto studio lagi,” tutur Asadi.

Untuk menghidupkan 4 orang anaknya, Asadi bersama istrinya, Hanifah mencari pekerjaan lain. Hanifa membantu Asadi dengan mengajar menjahit. Sedangkan Asadi membuka perguruan bela diri dari negeri “Tirai Bambu” itu.

Murid dalam 6 bulan sudah berjumlah 50 orang. Rincinya, 40 anak sekolah dan 10 orang lagi orang usia dewasa. Ia membuka latihan setiap pukul 16.00 WIB sampai 18.00 WIB. Jika ada yang privat latihatnya di teruskan pada malam mulai pukul 20.00 WIB sampai selesai.

Berbeda dengan seni beladiri pada umumnya, tak ada sabuk sebangai penanda kenaikan tingkat dan hanya ada 4 tingkatan , tingkat pemuda atau dasar, advance, andvance 2, dan expert atau ahli.

“Saya selain mengajari wing chun, juga tabib tradisional dengan pengobatan herbal, dan menyisipkan Tai Chi di sela-sela latihan sebagai penunjang kebugaran dan menjaga kesehatan tubuh,” jelasnya.

Bela diri wing chun dipelajari agar semua orang bisa menjaga kesehatan dengan bela diri ini. Bela diri ini juga kata Asadi bisa menyebuhkan penyakit. “Bela diri ini untuk sehat, bukan untuk berkelahi,” tutupnya mengakhiri topik pembincangan kami sore itu. (Irhamuddin)

      Leave a Reply

      Your email address will not be published. Required fields are marked *