AcehNews.net – Pada Kamis, 19 Juli 2018 lalu, Polres Nagan Raya telah mengamanankan seorang pria yang berinisial SR (59) warga desa Kubang Gajah, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya atas kasus pencabulan anak dibawah umur.
SR berprofesi sebagai guru mengaji ditangkap atas laporan sejumlah orangtua korban, dengan dakwaan pelaku telah melakukan pencabulan ditempat pengajian pelaku. Menurut keterangan Kapolres Nagan raya melalui Kasatreskrim mengatakan bahwa pelaku telah melakukan aksi bejat tersebut selama beberapa bulan terakhir. Dari pengakuan pelaku saat ini sudah enam anak yang telah dicabulinya dengan kisaran usia 7 hingga 10 tahun.
Ini bukanlah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pertama di Aceh. Menurut hasil penelitian Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, sekitar 40 sampai 60 persen dari pelaku kekerasan seksual di Aceh sebelumnya adalah para korban dari pelaku kekerasan seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi Aceh sejak 2015 hingga 2017 yang berhasil dihimpun oleh KPPA Aceh berjumlah sebanyak 377 kasus (2015). Pada 2016 meningkat hingga 1.270 kasus dan di 2017 menurun sebanyak 697 kasus. Di antara bentuk-bentuk kekerasan tersebut yang paling dominan adalah kasus pelecehan seksual, kekerasan psikis, sodomi, penelantaran, dan pemerkosaan.
Akar Masalah
Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 Juni 2015, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, terutama kemiskinan (pikiran-rakyat.com 22/6/2015).
Penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial yaitu kemiskinan, masalah keluarga, masalah sosial, gangguan jiwa pelaku kekerasan, dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasan akan efek tindakannya. Tampak jelas, kemiskinan atau tekanan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kekerasan pada anak.
Menurut data Komnas Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak di antaranya KDRT, disfungsi keluarga ketika peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan ekonomi atau kemiskinan, pola asuh yang salah dan terinspirasi tayangan media. Secara spesifik menurut Komisioner Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak di Aceh meningkat akibat film porno (kumparan.com).
Pernyataan tersebut senada dengan ungkapan Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Beliau menilai masyarakat Aceh perlu mendapatkan edukasi tentang teknologi informasi. Disatu sisi perkembangan teknologi informasi memberikan dampak positif karena warga dapat mengakses informasi secara terbuka. Namun disisi lain, efek negatif juga muncul akibat keterbukaan informasi itu sendiri.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumoh Putroe Aceh mencatat hal yang sama. Jika dilihat berdasarkan kabupaten dan kota di Aceh, kasus tersebut paling banyak terjadi di Aceh Utara dengan angka 123 kasus. Kemudian disusul Kota Banda Aceh sebanyak 94 kasus, Aceh Besar sebanyak 81 kasus, Bireuen 69 kasus, Pidie 57 kasus, Bener Meriah 52 kasus, Aceh Tengah 45 kasus, dan Aceh Timur 35 kasus.
Sementara untuk kabupaten dan kota lainnya angka kekerasan dengan rata-rata di bawah 30 kasus. Pihaknya berharap, harus ada kesadaran dari keluarga dan lingkungan masyarakat akan pentingnya penegakan hukum.
Jika kita melihat lebih dalam maka kita akan mendapatkan fakta bahwa semua itu hanyalah faktor penyebab atau lebih tepatnya merupakan faktor pemicu. Hakikatnya semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat langsung dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal di segala sisi kehidupan.
Solusi Pragmatis : Menyelesaikan Masalah dengan Menimbulkan Masalah
Baru
Begitu banyak produk hukum, lembaga bahkan sampai ke komunitas-komunitas masyarakat dibentuk untuk memberikan rasa aman. Namun ancaman kejahatan tak berkurang malah semakin sadis dan memilukan. Ini membuktikan kepada kita bahwa sistem dan negara telah gagal melindungi anak. Hal ini disebabkan negara gagal memahami akar permasalahannya sehingga negara mengalami disfungsi menjadi hanya sekadar pembuat regulasi bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, utamanya anak-anak.
Negara gagal mengedukasi masyarakat dalam mendudukkan peran dan hak anak. Negara abai dari semua kewajiban pengurusan anak dan melempar tanggung jawabnya kepada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat. Singkatnya, jika kita ingin anak aman, jaga sendiri, awasi sendiri, urus sendiri.
Belum lagi ketika kita melihat kebijakan pemerintah, banyak diantaranya saling bertabrakan dan tumpang tindih yang berakibat pada budaya saling melempar tanggung jawab satu sama lain. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak. Namun, itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengharuskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, Pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Berbagai pemicu hasrat seksual juga dibiarkan tersebar luas. Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga.
Namun, alih-alih menguatkan, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.
Diantara berbagai wacana mengatasi ancaman kejahatan seksual ini adalah dengan memperberat hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual dengan menambah masa maksimal hukuman penjara selama 20 tahun, yang sebelumnya dalam Undang-undang 33 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak hukuman maksimal adalah 15 tahun.
Hukuman tambahan berupa kebiri, pemasangan chip dan publikasi identitas pelaku, itu saja. Tampak dengan jelas bahwa semua itu hanyalah sikap reaktif. Guru Besar Krimonolog FISIP Universitas Indonesia menolak hukuman kebiri sebab pengebirian tidak menyelesaikan masalah dan secara empiris tidak pernah membuktikan bahwa pelaku akan jera dan calon pelaku akan gentar.
Negara gagap dalam menetapkan solusi yang kongkrit. Bagaimana pula dengan faktor-faktor pemicu yang tidak diberantas, pun nilai-nilai liberal yang masih diberlakukan bahkan dibuatkan payung hukumnya. Maka solusi yang diberikan negara hanya bersifat pragmatis, reaktif, parsial yang berpeluang besar menimbulkan masalah-masalah baru.
Inilah yang terjadi ketika penetapan aturan kehidupan diserahkan kepada manusia. Inilah akibat diterapkannya sistem kapitalis yang berasaskan sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan.
Syariah Islam sebagai Solusi
Syariat Islam adalah aturan yang sempurna, terbukti secara empiris mampu memberikan keamanan dan kepastian hukum kepada setiap warga negaranya baik muslim maupun non muslim. Syariat Islam memiliki dua metode penanganan hukum yaitu metode preventif dan metode kuratif.
Islam menanamkan ketaqwaan kepada Allah dalam diri setiap individu dan masyarakat. Dengan ini, masyarakat Islam akan mempertahankan kemuliaan diri dan entitasnya. Masyarakat akan menjaga rambu-rambu pergaulan sosial dengan seperangkat aturan mulia mulai dari kewajiban menundukkan pandangan, kewajiban menutup aurat, larangan safar bagi wanita jika tak disertai mahramnya, larangan khalwat, larangan ikhtilat, kewajiban bagi kaum laki-laki menafkahi tanggungan mereka.
Negara tidak akan berkompromi dengan pelanggaran hukum syara`. Disisi lain negara menyiapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kejahatan, terutama kejahatan seksual, sehingga tidak ada orang yang berani melanggarnya. Islam memberikan hukuman keras kepada pelaku perkosaan dengan diberikan sanksi sebagaimana para pezina yakni hukuman cambuk 100 kali jika pelaku belum pernah menikah dan hukuman rajam hingga meninggal jika pelaku sudah pernah menikah.
Demikianlah bagaimana Islam mampu melindungi seluruh lapisan masyarakat, tidakkah kita merindukan berada di dalam sistem yang mulia ini ? ketika anak-anak dan kita semua bisa merasakan keamanan yang sesungguhnya. (–Penulis adalah Ibu Rumah Tangga beralamat di Aisyah Peureulak Kabupaten Aceh Timur). (*)