Walhi Aceh Kritisi MoU Pemerintah Aceh dengan REDD +

BANDA ACEH – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mengkritisi soal Pemerintah Aceh beberapa hari lalu baru menandatangi Nota Kesepahaman REDD+ bersama BP REDD+ dan Kedubes Norwegia. Menurut Walhi Aceh seharusnya pemerintah Aceh harus cermat sebelum menandatangani MoU tersebut karen REDD + hanya akan menjadi agenda pemelaratan masyarakat.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur dalam rilis yang dikirimkannya kepada AcehNews.net Kamis (20/11) lalu mengatakan, program REDD+ yang lahir melalui Perpres No.62 Tahun 2013 ini digadang-gadang ampuh menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut, dengan tambahan poin “plus” pertimbangan perekonomian masyarakat, sebuah pembeda dengan pendahulunya, REDD. Namun dia kembali mempertanyakan apakah benar demikian?

M.Nur menjelaskan, penting kajian kritis soal hubungan implementasi REDD+ dengan upaya pengukuhan kawasan hutan dan pemenuhan hak tenurial masyarakat. Jangan justru menurut dia,  menjadi agenda mitigasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

“Dengan kata lain, di satu sisi bagi negara berkembang REDD+ dipandang sebagai sebuah peluang pembiayaan dalam perbaikan hutan, ketika di sisi lain program ini justru mengabaikan hak-hak kelola tradisional masyarakat sekitar kawasan atas sumber kehidupannya. Bahkan, REDD+ dapat menjadi skema baru perampasan lahan yang bermuara pada perdagangan karbon,” ujar M.Nur di Banda Aceh.

Masih kata M.Nur, hal ini diperkuat dengan fakta bahwa perambahan hutan Aceh terjadi secara sistematis dan melibatkan perusahaan. Sistematis karna didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap perusakan lingkungan. Sebut saja Pergub No.5/2014 tentang Budidaya dalam Kawasan Ekosistem Leuser serta SK Menhut No.941/2013.

SK Menhut mengubah 80.256 Ha kawasan hutan Aceh menjadi kawasan bukan hutan atau Areal Penggunaan lain (APL), sehingga menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Sedangkan alih fungsi kawasan bukan hutan menjadi kawasan hutan yang diakomodir dalam SK ini hanya seluas 26.465 Ha, jauh lebih sedikit dengan APL.

“Bagaimana ini bisa sinergis dengan niat reduksi deforestasi dan degradasi lahan?” Direktur Walhi Aceh ini kembali melontarkan pertanyaannya.

Sebut M.Nur, jika dilihat apa yang telah disebutkannya di atas tadi, dia berpendapat, belum lagi perihal hak-hak masyarakat adat yang sudah dijamin melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUUX/2012. Hingga kini, menurut dia, pemerintah Aceh masih mengabaikan hal ini, terbukti dengan ketidakjelasan ruang kelola masyarakat dalam Qanun No.19/2013 tentang RTRW Aceh.

“Apalagi soal pengukuhan kawasan hutan adat, belum diperjelas nomenklaturnya hingga kini. Lantas bagaimana mungkin jika ruang-ruang kelola rakyat ini saja belum jelas rimbanya, lalu akan diplot lagi ruang untuk REDD+ yang katanya plus pertimbangan ekonomi masyarakat,” kata M.Nur.

Diakhir keterangan persnya, M. Nur kembali melontarkan kritik tajam kepada pemerintah Aceh dan BPREDD +, kata dia sekarang pertanyaan besarnya, “masyarakat” yang mana yang dimaksud. Menurut dia Pemerintah Aceh dan BP REDD+ harus jelas menjawab persoalan ini. (saniah ls/rilis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *