Tsunami Palsu dalam Sesalan Zul

Lelaki muda itu duduk termenung. Sebuah gerobak rusak jadi tumpuannya bersama dengan seorang teman lainnya. Ia telanjang dada. Celana pendek yang dikenakan nampak lusuh. Koyak di bagian betis sebelah kiri jelas terlihat.

Sesekali ia menengguk segelas air putih. Bakaran rokok ia isap berulang kali. Kulitnya hitam. Beberapa luka gores seperti tercabik melekat di tubuhnya. Begitulah penampilan Zul, 26 tahun. Ia merupakan satu dari ratusan korban gempa berkekuatan 6.5 Skala Richter, yang mengguncang Aceh menjelang subuh kemarin.

Rumah Zul runtuh. Hampir rata dengan tanah. Ia barangkali beruntung masih sempat membakar batangan rokok sampai kini. Tak pergi bersama 15 korban gempa Desa Kuta Pangwa yang dimakam selahat.

Acehkita.com menemui Zul di halaman meunasah Kuta Pangwa, Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya, Rabu (07/12/2016) kemarin. Ia mulai berkisah. Memutar memori dukanya saat gempa merobohkan rumahnya.

“Saat gempa terjadi saya tertidur di kamar. Tiba-tiba sebuah hentakan kuat terjadi. Rumah saya seperti dinaikkan kala itu,” cerita Zul

Tak lama setelah dinaikkan, rumahnya kemudian turun bersamaan runtuhnya seluruh bangunan rumah. Peristiwa itu tak lebih dari beberapa detik. Hentakan yang terjadi sedemikian cepat.

Beruntung, rumah Zul tak runtuh menyentuh tanah. Bersama keluarganya, ia masih sempat keluar menyelamatkan diri. Rumahnya dihuni oleh 12 anggota keluarga. Saat gempa, ke-12 penghuni itu berada dalam empat kamar terpisah.

Sanubari Zul terkoyak-koyak. Ia tak lari seorang diri. Kesetiaannya terhadap keluarga kuat terpendam dalam dirinya. Pendaman di hatinya itu muncul atas gerak Zul menyelamatkan keseluruhan anggota keluarga.

Bak dalam movie Hollywood, Zul pantas disandang pahlawan. Mula-mula ia melabrak pintu kamar kakaknya. Dalam sana sebanyak lima keluarga terlelap melepas lelah, termasuk salah seorang di antaranya kakak kandung Zul.

Pintu terbuka, engsel terbang. Ia menendang daun pintu. Tenaganya kala itu meningkat drastis. Anggota keluarga yang terkurung di dalam, sesegera mungkin keluar menuju halaman rumah. Demikian terjadi hingga kamar ke empat terbuka.

“Setelah semua anggota keluarga dalam rumah bisa keluar menyelamatkan diri, saya masuk ke rumah saudara yang berdekatan dengan rumah saya,” lanjut Zul.

Belum semua anggota keluarga di rumah yang bertetangga dengannya bisa diselamatkan keluar, tiba-tiba isu tsunami merebak. Sekonyong-konyong semua warga Desa Pangwa berlarian menuju tempat yang tinggi.

“Kami semuanya lari, semuanya panik. Korban tertimpa reruntuhan tak sempat lagi kami keluarkan. Kami ingin menyelamatkan diri ke tempat lebih tinggi,” terang Zul. “Air naik. Tsunami, tsunami, tsunami.”

Mendengar itu, Zul bergegas lari.

Menjelang pagi, tsunami yang dikumandangkan pun tak pernah terjadi. Isu mematikan itu seolah-olah mengungkit trauma warga dengan tsunami Aceh 2004 lalu. Desa Kuta Pangwa memang terletak di pinggiran pantai.

Mengetahui terjangan tsunami itu palsu, warga segera kembali ke rumah masing-masing. Korban reruntuhan yang tak sempat dikeluarkan sebelum tsunami palsu merebak, telah menjadi jenazah. Semuanya telah meninggal. Sebanyak 15 warga dari sembilan kepala keluarga itu terlambat mendapatkan pertolongan.

“Tsunami palsu menyebabkan kami tak sempat menyelamatkan korban yang terkena runtuhan tanah, saya sangat menyesali. Kenapa lari pada kala itu,” sesal Zul.

Ke-15 korban runtuhan itu semuanya berhasil dievakuasi pukul 9.30 Wib. Dua unit alat berat jenis backhoe dikerahkan untuk mengeruk timbunan reruntuhan rumah. Selanjutnya ke-15 jenazah dimakamkan di perkuburan massal.

Raut wajah Zul sejenak pasrah. Ia menunduk kepalanya menghadap tanah. Tangan kirinya sesekali mengorek pasir tanah. Ada, tsunami palsu dalam benak penyesalannya. (acehkita.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *