Tsunami dalam Bingkai Foto Bedu Saini

Gempa bumi dan tsunami, tragedi memilukan itu masih membekas dalam ingatan fotografer Harian Serambi Indonesia, Bedu Saini. Meskin kini sudah 10 tahun, tetapi saat diminta menceritakan kembali kisah yang “melukainya itu”, Bedu (panggilan akrabnya) hanya terdiam, raut wajahnya yang tadinya cerita tiba-tiba berubah sendu.

Lama fotografer yang karya fotonya memuat tentan tsunami dan sering terpampang di beberapa media asing, serta dipamerkan di Jakarta dan luar negeri ini terdiam.

“Aku bagian kecil dari itu, aku tidak jadi korban, hanya keluargaku. Aku kehilangan ibu dan dua anakku,” kata pria berusia 63 tahun ini memulai cerita tsunaminya, kepada ACEH TOURISM beberapa waktu lalu, di Banda Aceh.

Bedu terdiam lagi, dia tidak mampu lagi bercerita, dia menghentikan ceritanya, semua seakan berat keluar dari mulunya. “Sangat susah aku menceritakannya. Kalau dibilang trauma, ya pasti ada. Cuma kalau aku diminta cerita aku hanya mampu cerita dari sisi foto yang aku jepret saat gempa bumi dan tsunami terjadi pada 26 Desember 2004 silam,” kata Bedu memohon agar dia tidak diminta untuk menceritakan tragedi tsunami yang telah merenggut nyawa orang-orang yang dicintainya yang hingga kini tidak ditemukan jasadnya.

Lelaki yang sering mengenakan kaos berwarna gelap ini mengatakan, soal foto-fotonya sering dipakai untuk pameran dan media yang menceritakan kedasyatan tsunami itu hanya suatu kebetulan. Spontanitas panggilan jiwanya sebagai fotografer mengabadikan momen memilukan tersebut.

“Dari karya foto, itu hanya suatu kebetulan, antara kejadian yang begitu cepat terjadi dan mengagetkan aku waktu itu. Naluriku terpanggil saat itu, aku melihat suasana terjadi dan merekamnya dalam lensa kamera yang kutenteng saat itu. Semua secara kebetulan,” cerita Bedu.

Pria penimat kopi hitam ini tidak bisa mengingat kembali berapa karya foto tsunami yang dibidiknya secara spontan. Padahal karya besar foto tsunaminya sudah dipampang di beberapa media cetak asing dan dipamerkan di dalam dan luar negeri. Juga diikut sertakan di dalam buku “Samudra Air Mata” karya fotografer kondang, Oscar Matullah.

“Aku belum ada rencana membukukan karya foto tsunamiku itu. Tetapi aku senang jika karya fotoku itu bermanfaat bagi orang lain dan menjadi catatan sejarah bagi generasi Aceh yang akan datang, bahwa pada 26 Desember 2014 lalu pernah terjadi gempa bumi dan tsunami yang telah menelan sekira ratusan ribu nyawa syuhada diantaranya ibuku dan kedua anakku,” tutup Bedu mengakhiri ceritanya itu kepada ACEH TOURISM di Banda Aceh beberapa waktu lalu. (saniah ls/acehtourism)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *