Potret Kegigihan Perempuan Penjual Lontong, Pejuang Ekonomi Keluarga

BANDA ACEH | AcehNews. Net – Perempuan sering kali menjadi tulang punggung keluarga di saat kondisi ekonomi tidak dalam kondisi baik. Istri dan sekaligus ibu bagi anak-anaknya, perempuan mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi dikarenakan suami yang tidak bekerja lagi disebabkan kondisi kesehatan.

Kak Wina saat melayani pembeli. | Saniah LS

Suasana Lorong IV di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, mulai ramai berjejer seperda motor. Sejumlah pembeli ada yang berdiri menanti pesanan lontong sayur, nasi gurih, dan lupis. Sebagian lagi duduk di kursi sedang menikmati sarapan paginya, di warung lontong Kak Wina.

Setiap pagi, Kak Wina berjualan lontong sayur, nasi gurih, lupis, dan kue basah di warung tak berdinding dan beratap seng bekas, di halaman depan rumahnya yang baru setahun direnovasi dengan biaya Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial Kota Banda Aceh.

Bantuan renovasi rumah PKH didaptkannya pada 2019 dan siap direnovasi dalam waktu tiga bulan dengan dana renovasi sebesar Rp17,5 juta. Lebar tanah 7,5 meter dan pajang 18 meter.

Kak Wina bersama suaminya, Mardian (63) yang sedang memperbaiki sepeda motor di depan halaman rumahnya. | Saniah LS

Warung lontong Kak Wina sebelum jarum jam berada di angka 07.00 WIB, sudah mulai didatangi pembeli. Selain lontong sayurnya yang enak, nasi gurih, dan lupis juga paling diminati. Harganya pun tidak terlalu mahal. Lontong sayur per porsi pakai telur dijual Rp8000, pun nasi gurih pakai ikan dan atau telur juga Rp8000/porsi. Sementara lupis satu porsi dijualnya Rp5000.

“Saya jual murah aja. Menyesuaikan dengan kondisi keuangan masyarakat di sini. Kalau kue basah titipan orang, satu potong seribu rupiah,” sebut perempuan yang memiliki nama asli Elwina Sari ini kepada AcehNews.net disela-sela kesibukannya melayani pembeli, Rabu (30/12/2020).

Perempuan yang hanya mengecap pendidikan tingkat SMP ini berjualan sejak suaminya sudah tidak bisa kerja lagi.

“Awal 2017 sudah berjualan. Abang sakit, jadi tidak bisa ke bengkel. Gimana ke bengkel, kalau kambuh sakitnya, jalan aja ngesot, kasihan,” cerita Kak Wina.

Suami perempuan berusia 43 tahun ini, menderita penyakit asam urat dan kolestrol. Sekitar empat tahun lalu, ia bekerja sebagai montir di salah satu bengkel sepeda motor di Lamteumen, Banda Aceh.

Dulunya, ibu dua anak ini hanya berkecimpung sebagai ibu rumah tangga biasa. Untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya, mengandalkan dari gaji suami sebagai montir. Karena memiliki keahlian memasak, tekadnya ingin berjualan lontong disetujui oleh suaminya. Dengan modal Rp2 juta dari simpan pinjam, ia pun membuka warung di depan gang.

Tetapi dimasa pandemic covid-19, pemilik tanah tempat ia berjualan menaikan harga sewa sehingga Kak Wina memindahkan warungnya di depan rumah.

“Jualan tidak pasti laku. Kadang cepat habis, kadang lambat. Masa pandemi untung bersih pun berkurang dari sebelum Corona. Tapi ya gimana lagi, tetap harus berjualan, kalau tidak jualan mau makan apa? Abang sudah tidak kerja lagi, ” ujar Kak Wina.

Dia mengakui, sebelum pandemi covid-19, sehari bisa meraup untung sebesar Rp70.000 hingga Rp100.000. Tetapi kini daya beli masyarakat berkurang, harga bahan pokok naik, untung bersih juga berkurang.

“Terkadang dapat Rp 30.000 kalau lagi sepi. Terkadang dapat lah Rp 50.000 per hari. Ditabung dan disisihkan untuk bayar pinjaman, seminggu Rp 50.000, ” ujarnya lagi.

Rumah yang dulunya semi permanen, berdiding triplek dan papan bekas itu setelah di renovasi sudah nyaman ditempati.

Terlihat prabot di rumah sangat sederhana itu hanya berisi kursi plastik. Di kamar berukuran 3×3 meter, tak ada tempat tidur, hanya kasur di atas lantai semen.

Kak Wina tinggal berempat di rumah mungil itu bersama suaminya, Mardian (63), dan dua anaknya, Farhan Alqadafi (17) dan Elfianinur ilmu (7).

Kedua anaknya turut membantu Kak Wina berjualan. Putri cantiknya yang baru berusia tujuh tahun sudah pintar mencuci piring dan melayani pembeli. Bahkan, sudah biasa membantu membuatkan minuman dingin, ketika abangnya Farhan tidak ada.

“Abang (suami, red) sudah membaik (kondisinya, red), jadi mau buka bengkel di depan rumah. Katanya suntuk (bosan, red) kalau tidak kerja. Alhamdulillah dapat pinjaman modal dari saudara. Kalau lagi sehat abang perbaiki sepeda motor bekas tsunami untuk dijadikan becak mesin,” bebernya.

Seperti hari biasa, sebelum ayam berkokok, tepat pukul 04.00 dini hari, Kak Wina sudah terbangun. Ia mempersiapkan semua menu dagangannya. Dari mulai membuat tauco, kuah lontong, nasi gurih, lupis, dan menu masakan lainnya.

Setelah adzan subuh berkumandang, perempuan yang ramah ini pun menghentikan aktifitas dapurnya. Ia shalat subuh dan kemudian merapikan rumah dan warungnya.

Sekitar jam 6.30 WIB, perempuan penggerak ekonomi keluarga ini, mulai berjualan. Satu, dua, orang pembeli mulai berdatangan.

“Alhamdulillah, kemarin dapat kabar dari Pak Keplor, ada bantuan modal usaha dari Baitul Mal Kota Banda Aceh. Jadi nanti jam dua siang kesana bawa sempel jualan, ” ucapnya.

Sejak suaminya yang terpaut usia 20 tahun darinya mulai sakit-sakitan dan berhenti kerja pada akhir 2016, Wina pun bertekad berjualan sarapan pagi. Hasil dari jualannya inilah yang terus ‘mengepulkan asap dapur’ rumah kecilnya.

Kini hasil tabungannya bisa mengembangkan usaha warung kecilnya, kalau dulunya hanya berjualan sarapan. Kini juga berjualan minuman dingin dan jajanan anak-anak.

“Lumayan bisa dapat tambahan dari sini. Bisa membayar uang sekolah anak-anak, dan membeli keperluan lainnya,” ucap Wina mengakhiri cerita kegigihannya membangun perekonomian keluarga di masa pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan akan berakhir.
(Saniah LS/Hidatillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *