Pengelolaan Perikanan di Aceh Masih Semraut

BANDA ACEH – Sekjen Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Marzuki di Kota Banda Aceh, Kamis (27/11) mengatakan, soal pengelolaan perikanan di Aceh  masih semrawut. Untuk itu menurut dia, harus menjadi prioritas untuk menatanya.

Pemerintah Aceh kata Marzuki, jangan hanya menprioritaskan tentang pengelolaan migas di wilayah kewenangan 12 mil sampai ke 200 mil laut Aceh dengan pembagian hasil 70 : 30 yang sekarang lagi panas-panasnya di bahas oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

Seharusnya Pemerintah Aceh, kata dia lagi, harus menomorsatukan Program perikanan di wilayah kewenangan laut tersebut. Marzuki menambahkan, bahwa di wilayah kewenangan laut tersebut merupakan  fishing ground nelayan Aceh, khususnya di sekitar wilayah Limbo atau gugusan karang melati.

“Sekarang hampir dua per tiga jumlah nelayan Aceh mencari rezeki di sana dengan berbagai armada tangkap dari ukuran 5 GT sampai 40 GT,” sebut Marzuki.

Menurut Marzuki, perikanan Aceh sekarang sangat semraut, pencurian ikan sangat merajalela di sekitar fishing ground tersebut, terutama pencurian ikan oleh nelayan dari Thailand dengan berkedok sebagai nelayan Indonesia yang menggantikan bendera mereka dengan bendera Indonesia, bahkan nama kapal diubah dengan nama kapal Indonesia.

Selain itu, Marzuki menambahkan penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan pukat trawl juga dilakukan oleh nelayan Sibolga, Sumatera Utara. Bahkan diperparah lagi praktek tersebut dibackingi oleh orang dalam Aceh sendiri, yang rela harta kekayaan lautnya di ambil oleh orang lain dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya nelayan Aceh tidak memperoleh apa-apa dari lautnya sendiri dan menjadi penonton di lautnya sendiri.

Pemerintah Aceh seharusnya harus bisa mengkaji tentang pengelolaan laut Aceh. Menurut Marzuki, di Aceh sekarang sudah sangat kurang orang cerdik pandai, yang banyak adalah orang pandai. Kalau melihat ke belakang, endatu-endatu di Aceh, sebut Marzuki sangat cerdik dan pandai, bahkan mereka tidak mengeyam pendidikan seperti sekarang.

“Indikator itu bisa kita lihat dari Hukum Adat Laut yang ada di Kelembagaan Panglima Laut Aceh yang terus dijaga secara turun temurun oleh seluruh Panglima Laot Lhok di Provinsi Aceh,” kata Marzuki lagi.

Contoh nyata bisa kita lihat dari Hari Pantang Melaut yang disusun dan dijadikan aturan adat oleh endatu sejak dulu di Kelembagaan Adat Panglima Laot Aceh. Ada 6 (enam) hari Pantang Melaut di Provinsi Aceh, antara lain (1) Hari Jumat, (2) Hari Raya Idul Fitri, (3) Hari Raya Idul Adha, (4) Hari  Kenduri Laut, (5) Hari Kemerdekaan RI (6) Hari peringatan tsunami Aceh.

Apabila dikaji lebih mendalam, nelayan Aceh dengan aturan adat dan kondisi wilayah perairannya, nelayan Aceh sudah dari tempo dulu menganut nilai-nilai konservasi dalam pengelolaan wilayah lautnya, nelayan Aceh lebih kurang selama 6 bulan tidak melaut dan membiarkan ikan beranak pinak untuk memijah, sehingga stok ikan di Aceh terus ada. (saniah ls)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *