Pemanfaatan Cagar Budaya Masjid Tuha Ulee Kareng sebagai Tempat Diniah  

Pemanfaatan cagar  budaya Masjid Tuha Ulee Kareng sebagai tempat Diniah bagi anak Min adalah salah satu cara yang tepat menurut saya. Karena dalam pengelolaan benda cagar budaya ini sebagai tempat mengembangkan Islam dan menjaga terus masjid bersejarah ini sebagai warisan budaya yang terus dilestarikan mengikuti perkembangan zaman.

Masjid Tuha Ulee Kareng terletak di Simpang Tujuh, salah satu lorong antara jalan menuju ke perumahan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Lamreng. Dari depan lorong berjarak sekitar 100 meter tepat di depan Sekolah Min Ulee Kareng. Bangunan ini kecil dan bentuknya persis seperti Masjid Tuha Indrapuri meski tidak setenar Masjid Tuha Indrapuri. Bangunan masjid itu dilingkupi oleh kayu-kayu dan sengnya sudah tampak berkarat.

Kegiatan Diniah di Masjid Tuha Ulee Kareng, Banda Aceh|Nita Juniarti

Kegiatan Diniah di Masjid Tuha Ulee Kareng, Banda Aceh|Nita Juniarti

Masjid Ulee Kareng ini terletak di padatnya perumahan, pasar dan pertokoan dan saat ini Mesjid tersebut digunakan sebagai tempat pengajian dan juga digunakan oleh anak-anak MIN Ulee Kareng untuk belajar diniyah pada hari kamis. Di tengah kota itu, masih ada bangunan tuha yang terus dilestarikan.

Masjid ini didirikan oleh Sayyid Al Mahalli, seorang ulama dari Arab. Beliau datang bersama anaknya dan Tgk Di Anjong untuk mensyiarkan ajaran Islam. Sesampai di Aceh, Sayyid Al Mahalli memilih Lamreung sebagai tempat mensyiarkan ajaran Islam, sedangkan Tgk Di Anjong memilih Peulanggahan.

Saya melihat, untuk ukuran sebuah halaman masjid, tempat ini lumayan sempit. Tangga cuma dua, langsung berbatasan dengan badan jalan. Ketika ada pelebaran jalan di kawasan ini, konon cerita para arkeolog,  dulu terdapat kolam dan parit di masjid.

Masjid Tuha Ulee Kareng ini mengikuti arsitektur masjid Nusantara yang beratap tumpang. Desain masjidnya tidak jauh berbeda dengan Masjid Indrapuri, Masjid Tgk Di Anjong dan masjid tuha lainnya di Indonesia. Dibandingkan dengan Masjid Indrapuri, masjid ini lebih kecil makanya atapnya cuma susun dua. Tiang penjangga berbentuk bulat persegi delapan, berjumlah 18, namun beberapa ukiran sudah rusak.

Ukiran  masjid ini terdiri dari tumbuhan dan jika diperhatikan lebih dekat mirip dengan ukiran pada nisan. Menurut Ida Hasanah, salah satu Dosen Arkeologi yang mengajar di Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Ar-Raniry, ukiran pada masjid dan nisan itu hampir sama, contohnya bunga berawan, ukiran cermin, dan lain-lain.

Menurut Ida, pemamfaatan masjid ini sebagai tempat untuk Diniah anak Min adalah salah satu cara dalam pengelolaan benda cagar budaya yang dimanfaatkan sebagai tempat mengembangkan Islam dan menjaga terus masjid tuha ini sebagai warisan budaya pada zamannya disesuaikan fungsinya dengan zaman sekarang. (*)

(Nita Juniarti adalah Pengurus Komunitas Arkeologi dan Kebudayaan Aceh (KAKA) bidang Sejarah dan Budaya).

    Leave a Reply to Refa Alaydrus Cancel reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *