Pamor Nandong Simeulue Berlahan Meredup

SINABANG | AcehNews.Net – Nandong adalah salah satu seni budaya yang ada di Kabupaten Simeulue. Nandong biasanya dimainkan dua orang atau lebih dengan menabuh gendang seraya melantunkan bait-bait syair diantara tabuhan gendang. Namun, derasnya perkembangan zaman, pamor Nandong di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, kini mulai meredup di kalangan masyarakat setempat.

Masa pukuhan tahun silam, pada umumnya kesenian Nandong ini sering diadakan dalam acara syukuran, sunat, pesta nikah dan pesta rakyat. Pada acara tertentu seperti pesta pernikahan, nandong yang termasuk dalam seni tutur ini kerap dilakukan semalam suntuk para seniman nandong, guna menghibur pengantin, sanak saudara, dan masyarakat setempat.

Saat hendak pertunjukan seni ini, para senimannya duduk bersila, masing-masing dari mereka memegang gendang, dimulai Besaramo istilah menabuh gendang tanpa melantunkan syair. Kemudian baru lah melakukan nandong, biasanya para pelakonnya melantunkan syair nandong itu dengan nada tinggi bak menjerit meratap, lirih, dan saling bersahutan.

Mereka (seniman) menyanyikan syair dalam nandong ini dengan ekpresi yang berbeda-beda, ada yang memejamkan mata sembari menunduk saat ber syair, dan ada juga yang memandang lepas sembari memegang ujung telinga saat bersyair. Semua ekpresi itu menunjukan betapa dalam untuk menghayati setiap bait-bait syair berisikan nasehat itu.

Bila masyarakat Aceh daratan mengenal kesenian Rapa’i sebagai alat edukasi, Nandong juga hampir serupa. Yang membedakan hanyalah bentuk alat seni dan cara melantunkan syairnya.

Jakfar (74) salah seorang tokoh masyarakat Desa Air Dingin, Kecamatan Simeulue Timur mengatakan, syair di dalam seni nandong ini konon katanya memiliki makna yang mengedukasi, memberi pesan moral dan lainnya. Tapi Sayang, kata dia lagi, seni budaya kabuten yang dikelilingi lautan itu tak lagi populer, bahkan berlahan mulai menghilang.

Menurut Jakfar magnet kemajuan zaman memang menjadi persoalan, mengikis tradisi yang sudah berabad-abad lamanya itu, regenerasi pun tak tertarik berguru nandong, mereka cenderung lebih memilih belajar memainkan alat musik moderen.

“Nandong itu sudah sangat lama tidak berjaya lagi di Simeulue. Seni nandong ini berlahan mulai tak populer disebabkan gesekan zaman yang semakin berkembang,” kata Jakfaf, Kamis (27/9/2018).

Lansia (lanjut usia) yang pernah menjadi ketua pemuda sekitar 30 tahun lalu itu mengisahkan, pada zaman dulu jika dalam sebuah acara seperti sukuran dan semacamnya tak diadakan nandong, maka acara tersebut terasa hambar.

“Kalau zaman saya dulu, tidak ada nandong rasanya tidak sempurna acaranya. Makanya kalau dulu itu, seniman nandong itu sengaja diundang oleh tuan rumah yang mengadakan syukuran atau pesta pernikahan. Begitulah kentalnya budaya nandong pada masa zaman saya. Kalo sekarang ini, sudah banyak ikut-kutan budaya barat, seperti pesta musik,” ujarnya.

Sekitar 10 tahun lalu, katanya, nandong masih sempat berjaya pada zaman Bupati Darmili, namun seiring berkembangnya zaman, nandong bukan lagi satu-satunya hiburan yang harus diadakan dalam setiap acara pesta perkawinan, sunat, maupun adat.

“Sekitar 10 tahun lalu saat Pak Darmili masih menjabat Bupati, seni nandong ini selalu ditampilkan dalam acara-acara yang diadakan Pemda” kenang Jakfar.

Zaman sekarang, tambahnya, bukan saja di bidang seni budaya yang mulai pudar, bahkan sifat gotongroyong masyarakat pun mulai berlahan hilang. Hal ini terbukti tidak adanya lagi kekompakan yang terlihat pada acara-acara di kampung.

Mengakhiri perbincangan dengan AcehNews.Net, Jakfar berharap kepada pemerintah daerah, agar seni budaya lokal yang mulai dikikis zaman ini dibangkitkan lagi, supaya seni warisan itu tidak hilang ditelan zaman.

Senada diutarakan Dedi (35), salah seorang warga kecamatan Teupah Tengah, Simeulue. Ia mengaku kalau seni budaya lokal nandong sudah jarang sekali ditampilkan dalam acara syukuran dan lainnya. Kemungkinan kata Dedi, nandong ini sudah kuno dianggap masyarakat. Maka itu masyarakat lebih suka mengundang kyboard untuk memeriahkan acara, baik sunatan maupun pesta pernikahan.

Untuk membangkitkan kembali nandong ini, seharusnya kata pria kelahiran 35 tahun itu, pemerintah daerah harus membuat semcam aturan di setiap desa untuk melestarikan kembali seni budaya lokal Simeulue yang mulai hilang itu.

“Seharusnya ada aturan begitu, tetapi jangan hanya aturan saja, tetapi pemerintah dan instansi terkait, juga harus sering membuat acara-acara kesenian budaya lokal, sehingga para seniman kembali aktif dan bersemengat untuk melestarikan nandong,” demikian pungkasnya.(Jen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *