Nurlina Penjual Buah Keranji dari Neuhen

“Mak hujan!” teriak si kecil Rifan.

“Mana topi Rifan nak? Ambil dan pakai, biar Rifan ngga sakit,” kata perempuan penjual keranji asal Desa Neuhen, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar yang sedang melayani pembeli.

Rifan mengambil topinya dari dalam kotak, tempat simpan barang-barang milik Rifan, kemudian anak lelaki berusia 3 tahun ini memakainya. Si ibu yang sedang sibuk melayani pembeli melirik sebentar ke arah Rifan. Memastikan putra bungsunya itu telah memakai topi.

Hujan turun rintik-rintik. Tak ada terpal apalagi payung untuk tempat mereka berteduh. Hanya ada sebatang pohon yang cukup rindang daunnya. Di sanalah mereka berteduh jika hujan turun. “Cuma pohon ini tempat kami berteduh jika hujan turun,” tutur Nurlina.

Nurlina adalah ibu rumah tangga asal Desa Neuhen, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.Perempuan berusia 38 tahun ini baru hitungan bulan berjualan buah musiman di depan SDN 24 Lampineung, Banda Aceh.

Ibu tiga anak ini mengaku berjualan karena ingin membantu suaminya. Apalagi akhir-akhir ini pendapatan suaminya sebagai penjualan keliling jajanan anak sekolah menurun. Lantaran persoalan ekonomi yang sedang sulit. Belum lagi masalah harga bahan pokok yang melambung tinggi dan biaya sekolah yang mahal. Membuar dia harus berkerja.

Nina (panggilan akrabnya) bercerita, pernah suatu masa dia merasa sangat sulit. Saat anak pertama (SMP) dan keduanya (SD) memasuki tahun ajaran baru. Saat itu dia dan suaminya sama sekali tidak punya uang.

“Nyesak dan sakit sekali rasanya. Waktu itu saya ingin menjerit,” ujar istri Dodi Irawan yang sudah 6 tahun mengantungkan hidup keluarganya dari berjualan jajanan anak-anak.

Perempuan ini akhirnya memutuskan untuk berjualan buah musiman yang tidak perlu modal besar. Apalagi uang belanja yang ditabungnya sehari Rp1.000 itu sudah cukup untuk dijadikan modal membeli buah jamblang 5 bambu (satu bambu seharga Rp12 ribu).

“Waktu saya sampaikan kepada suami mau jualan, suami saya mengizinkannya. Kemudian suami mencari kayu-kayu bekas di rumah dan kemudian membuat meja kecil buat saya berjualan,” kata Nina.

Setiap pukul 09.00 WIB selesai memasak dan mengantarkan dua putranya sekolah, Nina dan anak bungsunya diantar Dodi dengan beca gerobak jualannya. Nina dan Rifan turun di depan SDN 24 Lampineung,  lalu lelaki berusia 41 tahun itu bergegas pergi berjualan. Suami Nina berjualan di tempat-tempat keramaian. Sore menjelang Magrib, suami Nina datang menjemput. Mereka pulang bersama ke rumah di Neuhen.

Nuraini baru berjualan pada Juni 2014. Waktu itu sedang musim buah jamblang. Ia pun berjualan jamblang. Satu gelas plastik kecil dijualnya Rp5.000 dan tiga gelas plastik dijualnya Rp10 ribu. Jamblang (anggur Aceh rasa kelat berwarna hitam mengkilat) dibelinya dari agen di Krueng Raya.

Kemudian memasuki Agustus, saat buah jambe kleng (jamblang) mulai berkurang, buah keranji pun sudah musim. Ia pun membeli buah keranji dari agen di Lhoknga untuk dijualnya.

“Keranji saya jual ikatan kecil Rp5.000 dan ikatan besar Rp10 ribu. Saya beli dari agen satu bambu Rp30 ribu. Sedangkan jamblang saya jual tiga gelas plastik Rp10 ribu dan satu gelas Rp5.000. Penghasilan bersih saya Rp100 ribu dari menjual jamblang dan keranji. Sedangkan modal saya Rp200 ribu,” sebut Nina.

Uang yang dia dapat dari berjualan disisihkan untuk uang belanja dan jajan anak-anaknya. Karena jika mengantungkan dari penghasilan suaminya yang kalau sedang ramai bisa Rp100 ribu/hari dan jika sepi bisa meraup pendapatan kotor Rp20 ribu.

“Kami orang miskin, kami juga ingin sejahtera. Tidak mau hidup kami seperti ini terus,” imbuh perempuan tamatan SMA.

Nina mengatakan, sekarang ini perekonomian tidak stabil, cari uang sangat sulit, tidak ada istri yang tidak mau membantu suaminya mencari uang dengan berjualan. Tetapi masalahnya tidak memiliki modal. Jika pinjam harus ada agunan, harus punya usaha dulu, harus punya tempat usah baru dipinjamkan modal.

“Ya kami kan orang miskin. Mau beri jaminan apa coba?! Makanya pemerintah itu turun dan lihat langsung masyarakatnya yang miskin. Apa kebutuhan mereka, beri mereka modal usaha tanpa agunan, saya rasa ibu-ibu rumah tangga itu pasti mau berjualan membantu suami mereka,” katanya lagi.

Saya melihat Rifan kecil sedang duduk menikmati makan siangnya. Di usia Rifan yang masih kecil, banyak anak seusianya yang masih disuap ibunya. Tetapi Rifan tidak minta disuap. Anak kecil ini tak mau merepotkan ibunya yang sedang melayani pembeli. Dia (Rifan) makan sendiri makanan siangnya.

Saya melihat, tak ada lauk maupun pauk dalam piringnya, hanya nasi putih. Rifan tidak rewel, dia tetap memakannya dengan lahab hingga nasi tak tersisa di piring plastik. Rifan kemudian membuka tutup botol air miliknya. Dia meneguk air putih tersebut dan kemudian berkata “Mak uda makannya.”

Si Ibu muda itu menoleh dan mengatakan “Letakan nak piringnya di kotak.” Rivan pun mengikuti perintah sang ibu. Bundanya memberi pujian “Pintar anak mamak.” Rivan pun tersenyum menerima pujian itu. Kemudian duduk manis di atas kursi kayu bikinan bapaknya  melanjutkan main dengan topeng gajah yang diberikan seorang pembeli kepadanya. (Saniah LS)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *