Cut Putri Cory, S. Sos;
Muslimah Politikus Menurut Islam

AKTIVIS politik tak boleh disekat hanya bagi mereka yang bergelut pada ranah birokrasi kepemerintahan, atau anggota partai politik baik lokal maupun nasional tertentu. Politik dalam Islam memilik makna memelihara dan memperhatikan urusan rakyat.

Dalam konteks Islam, secara bahasa (lughah), politik (as-siyasah) sebenarnya berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus Al-Muhith dikatakan, “Sustu ar-ra’iyata siyasatan,” yang berarti “Saya memerintah dan melarangnya.” Dekat dengan pengertian ini, Ahmad ‘Athiyah dalam Jurnal Al-Ihsas menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperhatikan urusan rakyat.

Amatullah Shafiyyah dan Harryati dalam bukunya “Risalah Pergerakan” mengutip Syaikh Hasan Al-Banna, menurutnya, politik adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, ekstern dan intern, secara individu dan masyarakat secara keseluruhannya, bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat bahwa politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, tapi juga mencakup upaya menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan, di mana mekanisme kontrol berperan besar.

Jadi, politik adalah pengaturan urusan umat (ri’ayah syu’unil ummah) yang menjadi substansi aktivitas seluruh anggota masyarakat dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing, termasuk kaum Muslimah. Penulis mencoba memapar setidaknya tiga peran politik Muslimah pada tulisan ini, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (Ummun wa Rabbatul Bayt), sebagai Ibu generasi (Ummu Ajyal) melalui aktivitas dakwahnya di tengah-tengah masyarakat, serta terlibat aktif pada pergolakan pemikiran dan dalam mekanisme kontrol mengoreksi penguasa (Muhasabah lil Hukam).

Jangan Remehkan Peran Politik Ibu

Muslimah merupakan pilar bangsa pemegang kunci kesuksesan generasi pemimpin masa depan, dengan tangannya dia mendidik dan membentuk generasi yang kelak meneruskan estafet perjuangan mengurusi urusan umat dan menyejahterakan bangsa. Para Muslimah berperan aktif dalam melahirkan sosok-sosok hebat nan syurgawi, hal ini tercermin dalam perannya sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbatul bayt). Peran ini begitu penting, baik dalam dalam keluarga, di tengah-tengah masyarakat, dan bangsa.

Islam begitu memuliakan wanita dengan perannya sebagai ibu, tugas utamanya sebagai pengatur dan penanggungjawab rumah tersabda dalam hadis Rasulullah SAW, “Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya bagi anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.” (HR. Bhukhari dan Muslim).

Dapat dipahami bahwa Ibu tak boleh mengabaikan masalah ini (red. peran strategisnya) karena merupakan perintah Allah. Ia harus senantiasa berupaya yang terbaik, dan terus menempa diri dalam aktivitas belajar untuk menambah tsaqafah-nya dengan motivasi aqidah, bervisi akhirat dengan pendidikan berpola Islam sehingga darinya tercetak generasi emas. Meski kini profesi ibu sangat jarang dihargai sebagai sesuatu yang istimewa, bahkan dianggap tak layak dijadikan cita-cita.

Ibu seolah pengangguran, ibu tak berkelas, bahkan jamak di masyarakat memandang bahwa ini merupakan sebuah beban. Juga adanya anggapan bahwa kaum perempuan yang dianggap sukses dan berkelas adalah mereka yang berperan aktif secara ekonomi, atau wanita karir. Tak sulit mendeteksi kondisi peran kaum ibu yang mulai tergerus, namun hal itu jangan menjadikan kaum ibu pesimis bahkan frustasi sehingga ikut tergerus dalam arus penyesatan sistemik meninggalkan peran strategisnya sebagai ibu dari anak-anak yang lahir dari rahim mulianya.

Peran ibu adalah aktivitas politik yang berdampak pada peradaban, jika peran ini terekonstruksi jauh dari Islam, maka akan berdampak kehancuran peradaban. Untuk itu, setiap ibu harus berdiri kuat bersama para Muslimah lainnya dengan motivasi aqidah, karena kemuliaan generasi ada di tangan kaum Ibu Muslimah yang mendidik generasi dengan Islam, juga dengan Islam itu pula kita dimuliakan.

Tak terbantahkan, peran strategis ibu adalah bagian dari aktivitas politik karena besarnya kontribusi ibu dalam membangun peradaban. Dia sebagai sekolah pertama dan utama (Madrasah al-Ula) bagi generasi, untuk itu ibu harus bervisi Islam, cerdas, berpikiran positif, dan berperan aktif dalam menjaga generasi. Hal ini akan berkorelasi erat dengan peran politik Muslimah yang kedua, yaituiIbu generasi (Ummu Ajyal).

Ibu Generasi

Jika peran ibu yang pertama hanya berlaku bagi mereka yang sudah menikah dan memiliki anak yang lahir dari rahimnya, maka peran kedua ini melekat pada diri setiap Muslimah, yaitu Ibu Generasi (Ummu Ajyal). Setiap Muslimah merupakan ibu bagi seluruh generasi, hal ini tercermin dalam aktivitasnya melebur di tengah-tengah umat melakukan aktivitas dakwah menyelamatkan kaumnya dan generasi dari berbagai hal yang mungkar.

Dakwah adalah kebutuhan manusia, termasuk kaum perempuan dan generasi. Ia pun merupakan kewajiban setiap mukmin sebagaimana firman Allah dalam Alquran surah Ali Imran ayat 110, dan banyak lainnya. Kebutuhan akan amar makruf nahi munkar sangatlah mendesak dan penting sekali, sebagaimana kebutuhan kita akan kehidupan, rasa aman, dan damai.

Dakwah sebanding dengan semua itu. Bahkan dijelaskan dalam sebuah hadis sejauh mana kebutuhan kita akan dakwah, “Perumpamaan orang yang menetapi hukum-hukum Allah dan menjaganya adalah laksana suatu kaum yang menumpang kapal, sebagian orang menempati bagian atas dan sebagiannya lagi menempati bagian bawah. Orang-orang yang berada di bawah, jika hendak mengambil air minum, akan melewati orang-orang di bagian atas. Di antara mereka kemudian ada yang berkata, “Seandainya saja kami melubangi kapal ini di bagian kami, tentu kami tidak akan merepotkan orang-orang di bagian atas” Jika orang-orang di bagian atas membiarkan tindakan dan keinginan orang-orang yang ada di bagian bawah, niscaya semua orang yang ada di kapal akan tenggelam. Sebaliknya, jika mereka berusaha mencegahnya, mereka semuanya akan selamat.” (HR. al-Bukhari).

Hadis ini menggambarkan secara jelas, betapa amar makruf nahi munkar sebanding dengan keberlangsungan kehidupan dan keselamatan masyarakat. Seandainya ada sebagian kelompok saja yang mengabaikan aktivitas ini, niscaya perahu kehidupan akan karam, sekaligus meneggelamkan dan menghancurkan seluruh penumpangnya. Sehingga aktivitas Muslimah dalam medan dakwah merupakan bagian dari peran politiknya dalam mengurusi urusan umat (ri’ayah syu’unil ummah), dia membentuk kesadaran kolektif dengan peta yang jelas yaitu mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang hakiki melalui perjuangan penerapan syariat Islam secara mengakar dan menyeluruh (kaffah).

Perang Pemikiran dan Mengoreksi Penguasa

Aktivitas dakwah menuntut kaum Muslimah untuk senantiasa ‘membuntuti’ kondisi kekinian umat, ini menjadi konsekuensi baginya untuk masuk ke dalam pertarungan pemikiran (ash-shira’ al fikri). Dia mengamati kebijakan demi kebijakan yang pemerintah dalam hal pengaturan urusan rakyat yang berdampak pada perempuan dan generasi, juga melakukan aktivitas mengoreksi penguasa zalim dan pelanggaran terhadap syariat Allah. Inilah urgensi perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) Muslimah yang ketiga.

Informasi tak terbendung masuk tanpa sekat ke benak generasi, merekonstruksi identitasnya sehingga dia membebek pada budaya Barat, menjadi pribadi yang kompromis, sekular, dan liberal. Tsaqafah yang tertanam itu ibarat kotoran yang harus disapubersih melalui aktivitas dakwah, sehingga mengenal dan mendeteksi kotoran harus menjadi agenda penting kaum hawa.

Meski begitu, menjaga generasi dan kaum perempuan bukanlah tugas utama Muslimah, melainkan pemerintah yang bertindak sebagai qawwam. Sehingga Muslimah harus aktif dalam konfrontasi pemikiran untuk membuktikan mana yang mutiara dan mana yang kotoran, juga mengontrol pemerintah dan melakukan koreksi atas pelanggaran syariat sebagai bagian dari aktivitas politiknya. Dua aktivitas ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Inilah konsep perempuan berdaya yang berbeda dengan apa yang menjadi propaganda hitam kaum feminis yang menitikberatkan pemberdayaan perempuan pada kemandirian ekonomi. Tak ada larangan bekerja bagi perempuan, namun bukan semata dengan menghasilkan pundi-pundi rupiah perempuan baru disebut berdaya.

Islam memuliakannya dengan syariat yang menjelaskan bagaimana konsep pemberdayaan perempuan tanpa harus meninggalkan fitrahnya sebagai ibu, untuk itu jangan lagi remehkan profesi ibu, dan tak boleh ada pengerdilan terhadap posisinya di tengah-tengah arus deras tuduhan jahat serta rendah atas pilihan seorang Muslimah untuk menjadi ibu dan pendidik generasi. Sehingga aktivitas politiknya di kancah kehidupan menjadi optimal dan biarkan dia bergerak aktif memberi manfaat bagi kaumnya dan generasi.

Merekalah Muslimah Politikus yang dimuliakan dan memuliakan dengan Islam. Sebagaimana yang diungkap Fika Komara dalam tulisannya “Memaknai Hidup Multi Dimensi”, dia katakan, “Jadilah Muslimah berdaya, bermental dan berkepribadian kuat, menjadi kehormatan bagi suaminya, pilar kuat bagi keluarganya, sekaligus penggerak bagi kesadaran umat Muhammad Saw.”[*]
(Penulis adalah Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Aceh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *