Mantan Perawat Gigi Kini Berjualan Mie Aceh  

Tidak setiap orang selalu merasakan indahnya sari kehidupan, namun ada banyak orang-orang yang mengalami beratnya hidup dan tetap bertahan dengan segala kekurangannya, menganggap sebagai hal yang lumrah untuk menjalani kehidupan.

“Hidup tak bisa di katakan berat, kalau pun berat memang harus dijalani” ucap seorang pria paruh baya yang akrab di panggil waled.

Pria yang memiliki nama lengkap  Said Dzikri ini berprofesi sebagai penjual mie di Lam Dingin Banda Aceh, bapak dari tiga orang anak ini sudah sejak tahun 90-an berjualan mie di seputaran Banda Aceh. Dengan cita rasa yang kental dengan olahan tangannya, para pelanggan selalu datang dimanapun dia berjualan.

Tidak tanggung-tanggung pengalamannya belasan tahun dalam mengolah mie Aceh mendapat skor sempurna dari pelangan, wajar saja ketika setiap kali ia berpindah lokasi dalam berjualan, pelanggannya dari berbagai pelosok Kota Banda Aceh, selalu setia datang untuk menyantap mie Aceh buatannya.

Pertemuan dengannya terjadi saat malam itu, 31Oktober 2014, AcehNews.net mampir di sebuah gang sempit di seputaran Lam Dingin, terlihat sebuah rak mie dengan penerangan seadaanya, dua buah meja panyang dan beberpa kursi di dalamnya. Tepatnya cukup kecil dan terlihat bergitu sempit terhimpit di sebuah kios kecil yang sudah tutup.

Ada irisan sayur kol dan beberapa pernak-pernik olahan untuk membuat mie yang tertata di dalam rak tersebut, setumpuk mie Aceh yang belum di olah dan peralatan memotong yang di sejajarkan di dalamnya. Tepat di sebelah kirinya terdapat wajan penggorengan dengan bahan bakar gas LPG 3 Kg .

Walaupun dikatakan meja panjang namun panjangnya hanya satu setengah meter dengan kursi papan yang panjangnya setara. Beberpa kursi tunggal berwarna hijau terletak berdesak-desakan di sebalah kanan rak. Sedangkan di atas wajan penggorengan ada berbagai jenis minuman bubuk sebagai pelengkap untuk menyantap mie hasil olahan tangannya. Harganya pun cukup terjangkau cukup membayar satu porsi Rp8 ribu/porsi, Anda sudah dapat menyantap mie Waled.

Said Dzikri atau akrab disapa Waled, sebelum terkena penyakit darah manis, bekerja sebagai perawat gigi honor di salah satu rumah sakit gigi  yang terletak di Blang Padang pada tahun 90-an, dengan honor Rp35 ribu yang di ambil secara triwulan ia menafkahi keluarganya.

Ia menjabat sebagai bendara rutin atas kepercayaan kepala rumah sakit tersebut . “Pak kepala percaya dengan saya, walaupun berstatus honorer, saya di angkat menjadi bedahara rutin di rumah sakit itu, cerita Waled”.

Namun ia menyadari bahwa tak hanya dapat berpangku tangan dengan hanya mengandalkan penghasilan dari honor perawat gigi. Akhirnya sebagai penunjang untuk tetap mengepulkan asap dapur dan anak-anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan, ia melakukan berbagai pekerjaan sampingan dari menjual mie sampai membuat platfon rumah orang, namun penyakit darah manis yang di deritanya awal 2008 membuatnya tak bisa setangguh dulu

“Dulu sebelum sakit, saya juga sering membuat platfon rumah warga, kalau sekarang sejak terkena darah manis, aktifitas mulai di kurangi. Tak bisa lagi berdagang sampai larut malam dan akhirnya pindah jualan di dekat rumah saja. Berjualan mie Aceh adalah mata percaharian satu satunya,” tuturnya.

Bapak dari tiga orang anak ini terkadang harus bolak balik menjadikan surat kendaraan bermotornya sebagai jaminan usaha dan biaya pendidikan anak-anaknya. Apalagi anak pertamanya, Said Furqan sekarang berkuliah di farmasi juga membutuhkan biaya yang cukup besar.

“Anak saya yang kedua Said Reza Pahlawan yang sekarang duduk di kelas 2 SMA, sebentar lagi ingin masuk tentara,” ucapnya, mengutarakan cita-cita putra keduanya itu. Sedangkan putri bungsunya Syarifah Khaira, masih duduk di bangku TK. Ia bersama istrinya Nurmalawati saling bahu membahu untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Ini kios pun tutup karena modalnya kurang,” katanya sembari menunjukkan kios kecil yang berada tepat di sebelah warung mienya.

Penyakit darah manis yang di deritanya cukup menjadi masalah dalam aktifitasnya untuk mencari nafkah, belum lagi biaya berobat yang cukup mahal yang harus ditanggungnya.

“Dalam 15 hari minimal harus keluar biaya Rp300 ribu untuk membeli obat,” kata Waled.

Sedangkan dari pemerintah sendiri belum ada bantuan, mirisnya ia yang menjadi korban tsunami tak mendapatkan bantuan rumah walau faktanya rumanya ikut hanyut di seret arus pada tragedi naas itu.

“Kalaupun nanti ada bantuan, untuk berobat saja sudah lebih cukup,” harapanya mengakhiri obrolan dengan AcehNews.net malam itu, di Banda Aceh. (irhamuddin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *