Mak Jasa, Lansia Penjual Sapu Lidi di Simeulue

SINABANG | AcehNews.Net – Dari Rp15 ribu berjualan sapu lidi, lelaki dengan kondisi mata rabun dan tubuh bungkuk di Simeulue ini, mendapat upah Rp1000. Jika sehari ada 15 sapu lidi yang terjual maka sehari penghasilannya Rp15 ribu. Uang itu cukup membeli beras, untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang bermasalah dengan kesehatan jiwa.

Pagi itu, saat mentari mulai menaiki kaki langit, 7.30 WIB, seperti hari-hari biasa, lelaki Lansia (lanjut usia) itu bergegas keluar rumah, berjalan sambil memikul sapu lidi di bahunya.

Lelaki tua memakai peci hitam, mengenakan baju batik usang, celana panjang hitam, berjalan perlahan di atas trotoar. Maklum, diusianya yang 85 tahun itu, matanya mulai rabun.

Jika letih berjalan, dia pun berhenti beristirahat. Kemudian pria tua bertubuh kecil itu pun kembali berjalan, menawarkan sapu lidi yang dibawanya kepada masyarakat yang dijumpainya di depan rumah, perkantoran, dan di jalan, ketika berpas-pasan dengan dia.

“Sapu lidi nak, Lima belas ribu saja,” dia menawarkan kepada setiap orang yang ditemuinya. Tak satu pun pagi itu, sapu lidi nya terjual.

Kakek tua itu Adalah Mak Jasa. Warga Desa Air Dingin, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue.

“Saya sudah berjualan sapu lidi sudah begitu lama, puluhan tahun. Dulu tak begitu sulit mencari pembeli, sekarang sangat sulit orang membeli,” cerita ayah yang memiliki delapan anak ini kepada AcehNews.net, beberapa waktu lalu,30 Oktober 2018.

Delapan orang anaknya, tujuh sudah menikah dan satu orang lagi masih dibawah tanggungjawabnya. Apalagi anaknya ini sudah lama bermasalah dengan kesehatan jiwa.

“Kalau sapu lidi terjual, Bapak mendapat upah Rp1000, sisanya Rp14 ribu lagi, Bapak kembalikan kepada pemilik sapu,” kata Mak Jasa.

Mak Jasa terkadang membawa 10 hingga 15 sapu lidi yang dipikul di bahunya dengan berjalan kaki. Tubuhnya yang mulai renta dengan mata yang sudah mulai rabun, membuatnya tak berani lagi mengayuh sepeda tua miliknya.

“Dulu Bapak jual sapu lidi dengan sepeda, sejak mata rabun, Bapak tidak berani kayuh sepeda lagi, takut nabrak,” demikian cerita pilu kakek tua tangguh yang lebih memilih berdagang sapu lidi daripada harus mengemis karena kondisi ekonomi yang terpuruk. (Jenedi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *