Hilangnya Wilayah Kelola Hukum Adat Laut
KuALA Minta Raqan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Diperbaiki

BANDA ACEH | AcehNews. Net – Rancangan Qanun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil perlu diperbaiki sebelum selanjutnya disahkan. Urgensi perbaikan itu muncul karena hilangnya pengakuan Wilayah Kelola Hukom Adat Laot menjadi Wilayah Panglima Laot. 

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jendral Jaringan KuALA, Rahmi Fajri dalam rilis yang dibagikan Selasa (3/9/2019), setelah sempat menghadiri kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum di Gedung DPRA, Senin (2/9/2019) kemarin.

Rahmi menjelaskan, penempatan bahasa wilayah kelola panglima laot yang dituangkan dalam qanun ini sangat tidak sesuai dengan norma adat yang berlaku di Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan. 

Pasalnya, Panglima Laot hanyalah lembaga adat yang menaungi nelayan sementara wilayah kerja mereka disebut dengan Wilayah Kelola Hukom Adat Laot. 

“Penempatan bahasa wilayah kelola panglima laot sangat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di Aceh karena panglima laot adalah lembaga adat, sementara wilayah kerja panglima laot disebut dengan Wilayah Kelola Hukom Adat Laot,” ujarnya.

Selain penempatan bahasa, tumpang tindih pembagian zonasi yang terdapat di dalam qanun ini menurutnya juga akan menjadi malapetaka bagi panglima laot dan nelayan yang akan beraktifitas di Wilayah Kelola Nelayan di Aceh. 

Rahmi menyebutkan, jika qanun ini disahkan, ditakutkan akan terjadi konflik antara nelayan dengan pemerintah maupun dengan pihak lain karena tidak konsistenya pembagian ruang laut tersebut.

“Tumpang tindih penentuan ruang ini saya takutkan akan menjadi konflik antara nelayan dengan pemerintah maupun pihak lain, karena qanun ini tidak konsisten dalam memberikan kepastian ruang kepada nelayan,” ungkapnya.

Selain itu, Sekretaris Panglima Laot Aceh Jaya, Tgk Azwar dalam pertemuan itu juga menyampaikan, dalam penyusunan qanun ini, panglima laot tak pernah dilibatkan sehingga ditakutkan ada perbedaan perspektif antara tim penyusun dengan panglima laot sebagai lembaga adat terkait wilayah kelola hukom adat laut. 

Dia juga menambahkan, jika qanun ini disahkan tanpa memikirkan nelayan ditakutkan akan menjadi sumber konflik baru di tatanan nelayan.

“Selama proses penyusunan qanun ini, kami lembaga panglima laot tidak pernah dilibatkan. Kami meminta agar qanun ini diperbaiki sehingga tidak terjadi konflik di kemudian hari. Kami juga menakutkan ada perbebedaan perspektif antara panglima laot dengan tim penyusun Qanun terkait wilayah kelola panglima laot yang dimasukkan kedalam zonasi qanun ini,” jelasnya.

Azwar juga meminta kepada pimpinan sidang untuk memperbaiki isi qanun tersebut sebagai kado istimewa untuk masyarakat Aceh khususnya nelayan di akhir masa jabatannya.

“Pimpinan sidang, saya meminta kepada pimpinan sidang agar qanun ini diperbaiki sebelum di sahkan sebagai salah satu kado istimewa untuk masyarakat Aceh di Akhir masa jabatan ini,” kata Azwar kemarin.

Salah seorang pegiat lingkungan, Crisna Akbar juga menyampaikan, dalam pembuatan dan penyusunan Rancangan Qanun ini masih ada peraturan-peraturan terkait yang belum dimasukkan. 

Peraturan itu, lanjutnya, sebenarnya dapat menjadi acuan dasar terbentuknya zonasi di suatu perairan yang salah satu contohnya adalah tidak dimasukkannya Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan yang seharusnya menjadi dasar pembagian daerah tangkapan nelayan.

“Masih ada kekurangan pencantuman aturan-aturan lain yang seharusnya dapat dijadikan landasan dalam pembagian ruang. Salah satunya adalah tidak dimasukkannya qanun perikanan di dalam Rancangan Qanun ini yang dapat menjadi dasar tentang pembagian wilayah tangkapan nelayan,” papar Crisna.

Ia juga menambahkan, perlu pertimbangan yang mendalam dari pimpinan sidang dan para tim penyusus rancangan qanun tersebut sehingga tidak marugikan masyarakat adat dan nelayan yang terdapat di kawasan pesisir Aceh. (Tesk: Hafiz Photo: Ist)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *