Konflik Gajah dan Manusia di Aceh Tiap Tahun Meningkat

BANDA ACEH | AcehNews.net – Konflik Gajah dan manusia di Provinsi Aceh setiap tahun mengalami peningkatan, meski angkanya bervariatif.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, kasus konflik gajah dengan manusia yang terjadi di Aceh, bervariatif dari 2015 terdapat 39 kali konflik, naik pada 2016 menjadi 44 kali. Kemudian terjadi peningkatan pada 2017 menjadi 103 kasus, meskipun terjadi penurunan pada 2018 hanya 73 kasus. Tetapi kembali meningkat pada 2019 sebanyak 107 kasus.

Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto, pada Diskusi Tematik tentang Gajah Sumatera Nasibmu Kini, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Lingkungan, Kamis (16/1/2020) disalah satu kafe di Banda Aceh, mengajak seluruh lapisan masyarakat, agar berkomitmen bersama untuk kelestarian gajah.

Karena menurutnya, bagaimana pun, pemerintah tak pernah diam menangani kasus konflik gajah dan manusia di Aceh dan lalu konsolidasi untuk menangani konflik antara manusia dengan gajah. Kemudian, menetapkan regulasi untuk mengurangi persoalan tersebut.

Semakin terdesaknya habitat Gajah Sumatera diduga menjadi penyebab konflik dengan manusia di Provinsi Aceh. Dari catatan BKSDA Aceh hampir 85 persen habitat gajah Sumatera berada di luar kawasan konservasi hutan.

“Potensi terjadinya konflik gajah dengan manusia sering terjadi karena sempitnya habitat gajah di Provinsi Aceh, dan juga menjadi penyebab utama pemicu konflik,” kata Agus Arianto.

Menteri Kehutanan telah mengeluarkan peraturan terkait penanggulangan permasalahan konflik gajah liar dengan manusia yaitu, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar. Serta Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/1097/2015 tentang pembentukan satuan tugas penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar Provinsi Aceh.

Konflik gajah dengan manusia terjadi di Aceh Jaya, Bireuen, Bener Meriah, Pidie, Aceh Tengah, dan daerah Aceh lainnya.
Banyak pihak menyalahkan gajah yang mengamuk, sehingga merusak rumah penduduk, ada juga yang menghancurkan kebun warga, dan lahan kelapa sawit.

Alumni rimbawan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Aceh, Ismed S.Hut, menyebutkan, sudah belasan tahun konflik satwa liar dengan manusia, muncul di Aceh. Salah satu penanganan nya, mengusir gajah liar dengan gajah jinak, banyak berhasilnya, tapi gajah jinak terluka ketika di adu dengan gajah liar.

“Cara ini memberikan penurunan daya kesehatan gajah jinak dan lama kelamaan gajah jinak pun mati. Angka populasi gajah Sumatera, semakin hari jumlahnya menurun, padahal gajah sumatera (elephant maximus sumateranus) merupakan satwa liar yang dilindungi di negeri ini,” kata dia.

Sementara itu, salah satu anggota geuchik di Aceh Jaya, Sarkawi, meminta agar konflik yang terjadi tidak menyalahkan petani kecil yang lahannya juga kecil, tetapi lihat juga siapa yang memberikan izin kepada Hak Guna Usaha (HGU) yang awalnya lahan HGU atau perusahaan, adalah hutan, kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan.

Senada itu, salah satu peserta diskusi yang juga Praktisi Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail, menyarankan, agar memberikan edukasi kepada masyarakat sejak dini, tentang gajah dan lingkungannya, apakah kepada anak taman kanak-kanak, juga kepada warga yang berada di kawasan yang merupakan daerah lintasan gajah.

Mengapa? Menurut Mawardi Ismail, Agar masyarakat paham dan mengetahui tentang gajah. “Tidak melulu menyalahkan gajah. Sekali lagi, kalau gajah bisa ngomong, mungkin kita tahu, mengapa mereka keluar dari habitatnya,” demikian ucapnya. (Dian)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *