Ikut Terdampar di Aceh Bersama Manusia Perahu,
Kesaksian Remaja Bangladesh yang Diculik

KUALA LANGSA – Absaruddin adalah seorang manusia perahu yang diselamatkan nelayan Aceh saat sedang terkatung-katung dari tengah laut Selat Malaka, Jumat dinihari (15/5/2015).

Saat ditemui acehkita.com di Kuala Langsa, Kota Langsa, lokasi sekitar 700 pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, dan warga Bangladesh ditampung, Sabtu kemarin, remaja itu tampak kelelahan. Dia adalah seorang dari sedikit manusia perahu yang mampu berbicara bahasa Inggris meski sepatah dua patah kata.

Untuk mendapat cerita Absaruddin, kantor berita Perancis, AFP, mewawancarainya. Proses wawancara dilakukan wartawan AFP di kantor Dhaka, ibukota Bangladesh, via saluran telepon internasional dengan bahasa Bengali. Berikut kesaksian bocah yang tampak kurus:

“Nama saya Absaruddin. Saya berumur 14 tahun. Saya seorang pelajar kelas tujuh di Madrasah Jamiria Darul Quran. Saya anak bungsu dalam keluarga. Saya mempunyai tiga saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Ayah saya namanya Rustam Ali, seorang petani miskin. Ibu saya bernama Anwara Begum.

Kami tidak memiliki tanah. Ayah menyewa tanah untuk setahun dan menanam padi. Kami tinggal di Desa Combobunia di Kota Teknaf (Teknaf adalah kota paling selatan Bangladesh yang berbatasan dengan pantai Rakhine, Myanmar).

Sekitar 48 hari lalu, saya bersama tiga teman – Mainuddin, 16, Nobi Hossain, 18, dan Mahbubur Rahman, 17 – pergi ke kota Teknaf. Kami pergi atas inisiatif Nurul Kabir, seorang teman di kampung kami.

Saya tak bisa menolak untuk tak ikut. Mainuddin adalah adik ibu saya. Nobi Hossain adalah sepupu Mainuddin. Ketika kami sedang sarapan di Teknaf, beberapa orang menyambangi kami. Mereka memaksa kami ikut ke sebuah taman. Mereka menculik kami dan mengancam akan membunuh jika kami menolak ikut.

Jumlah mereka ada lima orang. Kami tidak kenal mereka. Mereka menahankan dan mengikat kami dengan tali. Mereka memukul kami. Lalu, mereka membawa kami ke sebuah boat. Ketika sudah dalam boat di tengah laut, saya melihat ratusan Rohingya dan Bangladesh.

Semua anak buah kapal ialah warga Myanmar. Selama beberapa hari, kami dikasih makan dua kali: nasi dan sedikit air. Kemudian, mereka memberi kami sedikit biskuit dan air. Setelah air minum habis, kami dipaksa minum air laut dan biskuit sedikit tiap hari.

Dalam 10 hari terakhir, kami, warga Bangladesh, hanya diberikan sepotong biskuit. Banyak orang mati kelaparan selama berada di laut. Saya pikir sekitar 100 orang mati karena kelaparan. Mayat mereka dibuat ke dalam laut. Suatu hari, mesin boat mati dan kami terkatung-katung di laut, tanpa arah dan tujuan.

Jumlah kami dalam boat sekitar 900 orang. Ada 500 warga Bangladesh dan 400 lagi dari Myanmar. Mereka semua dari etnis Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak. Sekitar 10 hari lalu, Angkatan Laut Indonesia memberi kami makanan. Tapi, orang-orang Myanmar merampas semua makanan dan air minum. Mereka makan.

Ada sedikit biskuit yang tersisa. Paman saya, Mainuddin, memohon sedikit makanan pada orang-orang Myanmar. Tetapi, mereka tidak mau memberi makanan. Mereka memukul kepala dan sekujur tubuh paman saya dengan pentungan besi. Sambil menangis, dia memohon jangan dipukul dan berjanji tak akan meminta makanan lagi.

Melihat Mainuddin dipukul, Nobi Hossain sambil menangis memohon agar dia tidak lagi disiksa. Dia bilang: “Hentikan. Jangan pukul lagi saudara saya.” Tapi, mereka tak mau mendengar dan malah memukul Nobi Hussain dengan pentungan besi.

Setelah puas menganiaya kedua famili saya, orang-orang Rohingya yang menguasai boat membuang mereka ke dalam laut. Nobi Hossain dan Mainuddin tewas di laut. Saya yang sedang bersembunyi di salah satu sudut boat sempat mendengar teriakan mereka: “Tolong kami… Tolong kami… Tolong kami…” Saya dan warga Bangladesh tak bisa berbuat apa-apa.

Kejadian itu terjadi sekitar 10 hari lalu. Saya masih sangat muda untuk memprotes tindakan warga Myanmar yang membuang paman saya dan Nobi Hussain ke laut. Saya hanya bisa menangis dan menangis sambil terus berdoa kepada Allah agar saya dilindungi oleh Yang Maha Kuasa.

Dua hari sebelum kami diselamatkan nelayan Indonesia, terjadi perkelahian antara warga Bangladesh dan Rohingya. Warga Myanmar yang menguasai boat memiliki 10 senjata tajam seperti pentungan besi. Mereka juga punya pistol. Mereka sempat menembak mati dua orang.

Ketika terjadi perkelahian, orang-orang Myanmar memukul kami. Kami banyak yang lompat ke laut untuk menyelamatkan diri. Saya perkirakan ada lebih dari sekitar 150 orang Bangladesh mati setelah lompat ke laut. Saya menemukan satu kaleng plastik dalam laut. Saya pegang erat-erat kaleng itu supaya terus mengapung di air.

Saya mengapung enam jam sampai akhirnya boat nelayan datang dan menarik saya. Mahbubur Rahman yang lompat ke laut juga diselamatkan oleh nelayan. Dia sangat menderita dan sakit keras.

(Puluhan warga Rohingya dan Bangladesh yang diangkut dengan enam boat nelayan ke Kuala Langsa mengalami luka-luka bekas bacokan. Saat ditemukan para nelayan di tengah laut, kondisi mereka sangat lemas. Kebanyakan mereka hanya mengenakan celana pendek, tanpa pakaian, dan sarung).

Saya dengar kami akan dimasukkan dalam penjara di Indonesia. Saya ingin pulang ke rumah di Bangladesh. Saya ingin melanjutkan sekolah. Saya sangat merindukan ibu. Selama 48 hari, saya tidak pernah bicara dengan ibu. Tolong sampaikan kepada ibu kalau sangat merindukannya dan ingin berbicara dengannya.

Saya yakin Nurul Kabir yang mengajak kami ke Teknaf telah menjual kami kepada para penyeludup manusia. Dia tidak ada dalam boat kami. Saya dengan dia berada dalam boat lain. Saya tak tahu dimana dia sekarang. Saya tidak pernah bertemu lagi dengan Nurul Kabir sejak kami diculik.”

Jurnalis AFP di Dhaka sempat menghubungi ayah Absaruddin. Abangnya, Jalaluddin, yang menjawab telepon. Dia membenarkan kalau empat remaja desanya, termasuk Absaruddin, hilang ketika pergi di Teknaf.

Kepada wartawan AFP, Jalaluddin mengatakan, “Ibu saya langsung pingsan begitu ia tahu Absaruddin hilang. Kami telah mencoba melacak kepada orang-orang yang tahu tentang kelompok penculik, tapi mereka bilang tidak tahu.”

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya acehkita.com berhasil menghubungi ayah Absaruddin. Mereka sempat berbicara sekitar 30 menit. Melalui speaker, terdengar jeritan tangis kedua orang tua Absaruddin – Anwara Begum dan Rustam Ali – begitu mendengar suara putra bungsunya. Absaruddin juga tak mampu membendung air matanya dan beberapa kali meraung. (acehkita.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *