Kejati Aceh Kembali Periksa 4 Saksi Terkait Proyek Kerambah Jaring Apung Sabang

BANDA ACEH | AcehNews.net – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Selasa kemarin (2/7/2019) kembali memeriksa empat orang terkait proyek Keramba Jaring Apung (KJA) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Tahun 2017 di Sabang.

Keempat orang yang hadir dan diperiksa hari ini yaitu KPA Satker Direktorat Pakan dan Obat Ikan KKP RI, Slamet Soebjakto, Bendahara Pengeluaran Satker Direktorat Pakan dan Obat Ikan KKP RI, Nurlaela, Anggota Tim Pelaksana Pengadaan Percontohan Budidaya Laut Lepas Pantai pada KKP RI, Muaz serta Karyawan PT, Surveyor Indonesia. 

Kajati Aceh, Irdam melalui Kasi Penkum dan Humas, Munawal Hadi mengatakan, keempat orang tersebut diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pada pekerjaan proyek Keramba Jaring Apung (KJA) Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tahun anggaran 2017 di Kota Sabang.

“Disposisi kasus tersebut, dokumen DIPA KKP RI pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pakan dan Obat Ikan Tahun anggaran 2017 terdapat kegiatan pengadaan budidaya lepas pantai (KJA Offshore) Rp50 miliar,” ujarnya.

Dari proyek itu, jelas Munawal, terdapat indikasi melanggar hukum pada pekerjaan paket pengadaan percontohan budidaya ikan lepas pantai (KJA offshore) di kota Sabang yang dimenangkan oleh PT Perikanan Nusantara (Perinus) dengan nilai kontrak Rp45,58 miliar yang bersumber dari DIPA Satker Direktorat Pakan dan Obat Ikan pada Dirjen Perikanan Budidaya KKP tahun anggaran 2017.

“Pihak rekanan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, dimana hasil pekerjaan tidak bisa selesai 100 persen sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kontrak yang merupakan kelalaian dari PT Perinus sebagai pelaksana, serta lemahnya pengawasan dari PT Perinus maupun seksi pengawasan dan pengendalian pada PT Perinus sesuai dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 Pasal 93 ayat 1 dan ayat 2,” jelasnya.

Terkait spesifikasi teknis yang menyebutkan produk tertentu yang dalam hal ini KJA berstandar Norwegia di dalam HPS, dalam penjelasan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 81 ayat (1) huruf b yang dapat menjadi objek sanggahan adalah penyusunan spesifikasi yang mengarah pada produk tertentu dalam upaya rekayasa tertentu, sehingga mengakibatkan persaingan yang tidak sehat.

“Jadi menurut yang dimaksud dilarang bukan menyebutkan merek, tapi dilarang melakukan rekayasa tertentu sehingga mengakibatkan persaingan yang tidak sehat. Jika penyebutan merek dalam spesifikasi tidak ditujukan atau tidak dapat dibuktikan untuk rekayasa tertentu sehingga mengakibatkan persaingan yang tidak sehat, maka sangat sulit menemukan dasar aturan untuk mempermasalahkan, apalagi kemudian menjahatkan penyusun spesifikasi teknis,” jelasnya.

Lanjutnya, mengingat, tentang spesifikasi ini tidak diubah melalui Perpres Nomor 4 Tahun 2015 penelusuran dilanjutkan ke Perka Nomor 14 Tahun 2014 sebagai petunjuk tehnik Perpres Nomor 70 Tahun 2012.

Selain itu, jelasnya, terdapat indikasi kelebihan bayar yang tidak sesuai dengan terminal. Sebagaimana dalam perjanjian yaitu termin I dibayarkan 50 persen dari harga kontrak barang (7 item) telat berada di lokasi perakitan BPKS Sabang, termin II dibayarkan lagi 25 persen bila workboat dan net cleaner berada di lokasi perakitan dan 100 persen setelah semua dirakit. 

“Ternyata, perakitan dilakukan oleh pihak Norwegia pada Januari 2018, sedangkan pada 29 Desember 2017, PT Perinus telah dibayarkan sebesar Rp40,81 miliar. PPK KKP telah membayarkan sebesar 89 persen dari yang seharusnya 75 persen yang artinya terdapat kelebihan pembayaran 14 persen atau Rp6,63 miliar,” demikian pungkasnya. (Teks: Hafiz Photo: Ist)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *