Hammah Fatan, Perempuan Penjual Bakong Asoe

Aroma tembakau basah mulai tercium oleh saya. Waktu itu, 10 September 2014 sekitar pukul 07.30 WIB, saya menghampiri seorang perempuan tua penjual bakong asoe yang sering mangkal di Pasar Inpres Lhokseumawe. Kira-kira usianya sama seperti nenek saya, jika saya melihat garis-garis muka di wajahnya yang mulai berkerut.

“Berapa harganya Nyakwa?” tanya saya kepada perempuan tua tersebut.

“Tiga potong lima ribu rupiah,” jawabnya.

Saya pun mengeluarkan satu lembar uang kertas Rp5.000 dari kantong celana saya. Tiga potong tembakau basah ukuran jari telunjuk orang dewasa itu dibungkus dengan daun pisang. Tembakau itu akan saya hadiahkan buat Wak Ibah, kakak dari nenek saya yang memang suka dengan cemilan tersebut.

Ohya, bakong asoe atau tembakau basah adalah cemilan bagi orang-orang tua di Aceh. Makanan ringan ini dikunyah di sela-sela gigi kemudian air tembakaunya dihisap dan ditelan, setelah kering biasanya tembakau dipakai untuk membersihkan celah-celah gigi dan kemudian empas tembakau di buang.

Adalah Hammah Fatan. Dia perempuan tua yang saya temui tadi. Ternyata usia perempuan asal Tuping Raya Kabupaten Pidie, Aceh itu 69 tahun. Setahun lebih tua dari usia nenek saya. Nyakwa  Hammah Fatan (sebutan untuk perempuan tua Aceh) menjual tembakau basah di Pasar Inpres Lhokseumawe sudah 14 tahun. Dulunya dia berjualan bersama kakaknya yang tinggal di Lhokseumawe. Kini kakaknya tidak berjualan lagi karena tulang belakangnya sering sakit-sakitan.

Ummi Hammah dulunya adalah seorang petani tembakau di Tuping Raya. Karena harga tembakau turun pada masa krisis ekonomi sekira era 1998 hingga 1999-an. Ummi Hammah pun beralih menjadi penjual tembakau di Pasar Inpres Lhokseumawe pada tahun 2000. Tembakau itu dia beli dari kampungnya, Tuping Raya dan kemudian dijualnya lagi ke pasar Lhokseumawe.

Satu kilogram dibelinya Rp80 ribu dan dijual Rp100 ribu/Kg. Dia mengambil dari agen di Tuping Raya sebanyak 24 kilogram tembakau basah atau dibelinya sekira Rp1,920.000. Tak semua uang itu dibayar lunas. Ummi Hammah Fatan masih mengutang dengan agen tembakau di kampungnya. Jika banyak penjualanan, ia pun membayar sedikit demi sedikit sehingga lunas dan dia pun bisa mengambil kembali tembakau basah dari agen.

Single parent  (orangtua tunggal) ini tak ingin memangku tangan dari anak-anaknya yang sudah berumah tangga. Ibu 10 orang anak ini  lebih senang bekerja di masa usia senjanya selagi dia masih sehat.

Perempuan pada Desember 2014 akan datang  berusia 70 tahun ini mempunyai 10 orang anak. Dari 10 orang anaknya itu, hanya empat orang yang masih hidup, 6 orang lagi sudah meninggal dunia.  Sejak ia ditinggal suaminya, dia pun menjadi ayah dan sekaligus ibu buat anak-anaknya. Namun di masa senjanya ia mulai legah karena keempat anaknya, tiga perempuan dan satu orang laki-laki telah menikah dan memberinya cucu dan cicit.

“Saya sudah punya cicit,” katanya sembari tawa mengupas raut wajah yang telah lama merasakan asam garam dunia.

Selain menjual tembakau basah,  nyakwa ini juga menjual ragi dan kapur sirih. Tetapi dari tiga dagangannya itu, Hammah Fatan lebih dikenal sebagai penjual bakong asoe karena sudah tidak banyak lagi orang yang seperti Hammah Fatan ini yang menjual cemilan khas Aceh tersebut di pasar tradisional. Selain karena memang sepi pembeli, petani tembakau pun sudah mulai berkurang.

“Dulu masa tahun 2000-an, empat keranjang tembakau bisa habis terjual  dalam seminggu. Tapi sekarang ini belum tentu seminggu itu satu keranjang tembakau pun habis terjual, hanya seperempat saja yang terjual,” sebut Hammah.

Hammah menjual tiga potong bakong asoe Rp5.000, satu plastik kapur sirih Rp1.000, dan sebutir ragi Rp1.000. Tak banyak keuntungan yang dia dapat. Bagi Hammah yang penting dagangannya habis terjual. Jika sudah habis, ia pun kembali ke kampungnya di Tuping Raya Pidie, bermain bersama cucu dan cicitnya.

Uang yang tak banyak didapat Hammah. Sehari jika banyak pembeli dia bisa meraup untung Rp50 ribu. Tetapi tiga tahun belakangan ini sulit untuk bisa mendapatkan uang Rp50 ribu sehari, melihat kondisi perekonomian sekarang ini, apalagi yang dijualnya adalah cemilan yang hanya disukai orang tua zaman dulu.

Tetapi, meski demikian perempuan separuh abad lebih yang memiliki impian ingin naik haji ini tak peduli dengan berapa penghasilan sehari yang didapatinya. Penting bagi dia bisa makan dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari tanpa menggadahkan tangan dari belaskasihan orang lain maupun anak-anaknya.

Dari pengakuannya, perempuan penjual bakong asoe asal Pidie ini  dia lebih senang berjualan ketimbang duduk di rumah, sambil berharap anak-anaknya yang memberi makan dirinya. Bagi Hammah selagi dia masih sehat, dia akan terus berjualan untuk menghidupi dirinya.

“Kalau tidak jualan, siapa kasih makan saya?” ujarnya menutup pembicaraan kami pagi itu, 10 September 2014. (Irhamuddin/*)

 

 

 

    Leave a Reply to linova rifianty Cancel reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *