Di New York, Perempuan Aceh ini Akan Bicara tentang Keterlibatan Perempuan dalam Perdamaian

“Salah satu slide aku nanti, menampilkan bahwa aku sebagai perempuan Aceh bisa berkontribusi dalam membangun perdamaian di Aceh. Titik tekanku di point ini adalah Syariat Islam di Aceh tidak mengungkung perempuan Aceh untuk berbuat,” tutur perempuan berusia 36 tahun yang akan terbang ke New York, Amerika Serikat, untuk berbicara tentang keterlibatan perempuan dalam Perdamaian Aceh di sebuah forum bergengsi dunia, The UN Commission on the Status of Women (CSW).

 Dia adalah Raihal Fajri. Lahir di Aceh Besar pada 20 Februari 1981 silam. Memulai karir di Katahati Institute pada 2007 sebagai Project Officer untuk Program Clearing House Advokasi Kebijakan dan kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Katahati Institute.

Raihal (panggilan akrabnya), salah satu perempuan di Aceh yang diundang Mediator Beyond Border International (MBBI) yang berkantor di New York, Amerika Serikat. Sebuah lembaga yang bekerja fokus pada mediasi dan skill di bidang perdamaian di komunitas-komunitas di seluruh dunia.

“Pertama aku di undang untuk ikut training mediator untuk konflik di Jakarta oleh Mediator Beyond Border International di Jakarta pada 2015 silam. Kemudian pada November tahun lalu, 2016, aku dihubungi oleh MBBI yang berkantor di New York untuk bisa membagi best practice di CSW61 yang rencananya aku akan tampil menyampaikan persentasinya tentang keterlibatan perempuan dalam perdamaian Aceh,” jelas istri dari fotografer dan jurnalis lingkungan di Aceh, Junaidi Hanafiah via WhatshApp, yang saat itu sudah berada di Bandara Internasional, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Jumat malam (17/03/2017).

Lanjutnya, beberapa peserta dari negara lain tertarik mendengar best practice dari Aceh ini. Hingga awal tahun lalu ada teman-temanya  dari Thailand yang datang ke Aceh ingin belajar secara langsung best practice itu di Aceh.

“Aku fasilitasi kedatangan mereka selama seminggu di Aceh dan bertemu sejumlah tokoh perdamaian di Aceh seperti Pak Yusni Sabi, aktivis perempuan dari beberapa lembaga, akademisi,” ceritanya.

Masih cerita Raihal, awal dia diundang untuk mempresentasikan best practice nya itu. Katanya masyarakat sipil diberikan ruang untuk berkontribusi juga dalam memberikan input terhadap draft yang telah disiapkan terhadap isu di atas.

“Aku mengumpulkan pengalaman masyarakat sipil Aceh bersama tim di Kakilangit sehingga aku bisa mengkampanyekan cerita hebat masyarakat sipil Aceh sesuai mandat Kakilangit: mengumpulkan dan mengkampanyekan best practice masyarakat sipil Aceh,” ujarnya.

Topik presentasi Raihal yaitu “Women’s roles in peace building, best practice from Aceh, Indonesia”. Raihal berharap best practice Aceh dalam membangun perdamaian menjadi model dunia. Dunia bisa mengambil pengalaman baiknya dan tidak mengulang pengalaman buruk Aceh.

Persentasi Raihal nanti dibagi tiga bagian, bagian pertama dinamika Aceh, bagian kedua sejarah konflik Aceh dan keterlibatan masyarakat sipil dan bagian ketiga kontribusi aku sebagai perempuan Aceh dalam mendorong perdamaian.

“Salah satu slide aku menampilkan bahwa aku sebagai perempuan Aceh bisa berkontribusi dalam membangun perdamaian di Aceh. Titik tekanku di point ini adalah Syariat Islam di Aceh tidak mengungkung perempuan Aceh untuk berbuat,” tuturnya.

Merupakan kehormatan bagi Raihal, perempuan yang tak ingin disebut dirinya sebagai aktivis perempuan tetapi perempuan yang bekerja di LSM ini diundang  MBBI, Co-chair  yang bertujuan untuk penguatan kapasitas, mempromosikan mediasi melalui advokasi dan jasa konsultasi, yang berkantor di New York.

Raihal terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) pada 16 Maret dan tiba di New York, Sabtu malam (18/03/2017), waktu Indonesia pukul 21.53 WIB. Sedangkan  waktu New York pukul 10.53 pagi.

“Alhamdulillah, aku baru saja tiba nih di New York, 14 jam terbang dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ini lagi tunggu jemputan,” ujar Raihal via WA, ketika AcehNews.net menanyakan kabarnya.

Sebelumnya Raihal tiba di KLIA 1, Kuala Lumpur, Malaysia. Beberapa jam Raihal menunggu dalam ruangan ber-AC. Matanya yang sudah kelelahan dipaksanya untuk bertahan dalam antrian saat di depan petugas imigrasi Malaysia, Kamis tengah malam (16/03/2017). Perempuan berkacamata minus ini melanjutkan penerbangan ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Insya Allah, 21 Maret akan datang, aku akan mempresentasikan best practice Aceh dalam membangun perdamaian menjadi model dunia,” katanya lagi.

Sekitar 23 jam lamanya, Raihal menempuh perjalanan lewat udara. Letihnya terbalas sudah jika dia melihat foto suami dan kedua putranya dalam smartphone miliknya. Sesekali dia menyempatkan diri bertanya kabar anak-anaknya lewat WA.

“Doa kan aku ya, semoga apa yang nanti aku sampaikan benar-benar menjadi model dunia. Dunia bisa mengambil pengalaman baiknya dan tidak mengulang pengalaman buruk Aceh,” demikian harapnya.

Di training ini Raihal Fajri bercerita tentang best practice masyarakat sipil Aceh yang di kumpulkan di #kakilangit-rumah pengetahuan masyarakat sipil Aceh. Beberapa cerita bagaimana keterlibatan masyarakat sipil Aceh terutama perempuan dalam perdamaian Aceh.

“Aku nanti diberikan waktu 15 menit pada 21 Maret, untuk persentasi di hadapan peserta dari berbagai negara di dunia. Bukan hanya cerita Aceh tapi juga ada cerita dari Nigeria dan berapa negara lain,” tutupnya ibu dari Gibran Tuah Di Nanggroe (4) dan Al Ghazali Tuah Di Nanggroe (2), mengakhiri WA dengan AcehNews.net, karena mobil jemputan sudah tiba dan Raihal harus beristirahat dan mempersiapkan semuanya bahan persentasinya dengan baik.

Secara garis besar konferensi ini (Commision on status of women-CSW) akan membahas banyak isu termasuk di dalamnya kesehatan, traficking, politik, perdamaian, ekonomi sesuai dengan Goals yang ada dalam SDGs. (saniah ls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *