Dampak Kekerasan Terhadap Perkembangan Anak

 

Wida Yulia Viridanda, S.Psi., M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Psikolog PPKS (Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera) Bungong Jeumpa Perwakilan BKKBN, Provinsi Aceh.| Istimewa

Wida Yulia Viridanda, S.Psi., M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Psikolog PPKS (Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera) Bungong Jeumpa Perwakilan BKKBN, Provinsi Aceh.| Istimewa

AcehNews.net – Dewasa ini, fenomena kekerasan terhadap anak marak terjadi. Jumlah kekerasan tersebut juga makin meningkat setiap tahunnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak (komnas PA) menemukan banyak aduan terkait kekerasan pada anak ini. Masyarakat sendiri pasti tidak asing lagi dengan berita mengenai kekerasa-kekerasan yang dialami oleh anak, baik dari media cetak dan elektronik.

Kasus-kasus berikut mungkin sudah tidak asing didengar; Kasus anak yang dibunuh dan dimutilasi oleh ibunya yang depresi di Depok, bayi yang di lempar di mall Bekasi oleh ibunya, Bocah 4 tahun menjadi korban pencabulan di sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) di Yogyakarta, pemerkosaan, dan pembunuhan bocah 2 tahun di Bogor serta bocah “Arie Hanggara” yang di aniaya ibu sampai meninggal di Palembang, merupakan beberapa kasus yang diberitakan oleh media pada 2016. Banyaknya kasus kekerasan ini menggambarkan bahwa anak Indonesia belum cukup terlindungi dan sangat rentan terhadap kekerasan.

Umumnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak ini adalah orang-orang terdekat mereka, seperti orang tua, kerabat dan guru. Kekerasan domestik atau yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sekitar 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka , 10% terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal (Solihin, 2004). Bagi anak yang merupakan individu yang rentan ini, faktor lingkungan menjadi faktor yang sangat berperan penting bahkan penentu bagi tumbuh kembangnya.

Kekerasan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan atau psikologis, termasuk acaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yang dapat mengakibatkan resiko dan bahaya yang besar (Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) dalam Mash & Wolfe, 2010).

Kekerasan terhadap anak merupakan segala bentuk kekerasan (seperti yang dijelaskan di atas) terhadap anak usia 0 sampai 18 tahun. Bentuk kekerasan terhadap anak sendiri beragam, mulai dari kekerasan fisik, penelantaran, seksual, emosional sampai eksploitasi (Mash & Wolfe, 2010).

Kekerasan terhadap anak ini memberikan dampak yang sistemik bagi perkembangan anak-anak ke depannya serta merupakan bentuk pengabaian terhadap hak anak. Carta et al., 2001; Rolf, Masten, Cicchetti, Nuechterlein, & Weintraub, 1990 dalam Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, bahwa penelitian tentang perkembangan psikopatologi (gangguan psikologis) menemukan banyak faktor-faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada resistensi anak atau kerentanan anak terhadap stres.

Bahkan faktor-faktor lingkungan ini banyak yang menjadi penyebab dari terganggunya perkembangan anak secara kompleks (misalnya mengganggu proses kognisi, emosi dan perilaku anak secara bersamaan) sebagai faktor resiko. Walaupun secara kontras juga dapat menjadi faktor pelindung yang mampu menjaga dan mengarahkan perkembangan anak secara lebih maksimal.

Secara umum kekerasan terhadap anak disebabkan oleh 3 hal besar, yaitu faktor internal, seperti karakteristik yang dimiliki anak (fisik, kemampuan maupun perilaku anak); faktor keluarga, seperti karakteristik orang tua (kematangan/ kedewasaan emosional, gangguan psikologis, dan lain-lain), pola asuh yang tidak sehat dan tingkat sosial ekonomi (pengetahuan pengasuhan, pendidikan, dan pendapatan ekonomi keluarga); serta faktor budaya, seperti kebiasaan kekerasan di dalam keluarga dan lingkungan, sikap tidak peduli dan individualistik. Faktor-faktor tersebut dapat sebagai penyebab tunggal ataupun menjadi faktor kombinasi yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak.

Anak-anak yang mengalami kekerasan memperoleh dampak yang merugikan sepanjang hidup mereka yang termanifestasikan dalam status kesehatan fisik dan/ atau mental yang buruk, isu dalam perkembangan hubungan dengan teman sebaya dan orang dewasa, resiko yang tinggi bagi kesehatan perilaku dan masalah perilaku lainnya termasuk agresivitas dan kriminalitas di masa dewasa (Child Maltreatment, 2012).

Berdasarkan review penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (dalam Child Maltreatment, 2012), dampak terbesar kekerasan terhadap anak di Asia Timur dan Pasifik (termasuk Indonesia) terlihat pada kesehatan mental anak, yaitu munculnya permulaan gangguan mental, pemikiran dan percobaan bunuh diri; kesehatan fisik, yaitu penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol, serta berganti-ganti pasangan; serta pengulangan kekerasan dalam siklus hidup.

Sedangkan DePanfilis (2006) menambahkan adanya kategori gangguan perkembangan kesehatan dan fisik; keterlambatan perkembangan kognitif; masalah emosional dan psikologis; serta munculnya masalah perilaku dan sosial lainnya. Anak-anak yang mengalami kekerasan umumnya pengalami dampak-dampak yang multiple (lebih dari satu) dan terkait dengan lingkungan mereka.

Dampak yang bervariasi ini tergantung pada: usia anak, hadirnya dan kekuatan dari faktor-faktor protektif, frekuensi, durasi dan tingkat keparahan dari kekerasan serta hubungan antara anak dan pengasuhnya. Semua faktor tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi kekerasan terhadap anak.

Anak memiliki keterbatasan kognitif, fisik, dan sosial untuk berkembang. Untuk membantu anak-anak mencapai potensi penuh dan berkembang secara optimal, produktif dan bertanggung jawab di masyarakat, lingkungan memiliki kewajiban untuk menegakkan hak-hak anak untuk hidup, berkembang dan mendapatkan perlindungan. Hak ini dijamin oleh negara dan undang-undang.

Berbagai peraturan perundangan-undangan dan kebijakan baik di level nasional dan internasional menempatkan anak sebagai kelompok usia yang rentan sehingga perlu diberi perlindungan. Children Rights Convention (CRC) atau konvensi hak anak adalah salah satu perangkat hukum internasional mengenai hak anak yang bertujuan untuk memberikan perlindungan tersebut.

Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut kemudian membuat undang-undang no. 23 tahun 2002 yang lalu diperbaharui pada undang-undang no.11 tahun 2012 mengenai Perlindungan Anak guna memberikan jaminan hukum akan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan khas anak.

Dengan luasnya dampak negatif terhadap perkembangan anak, Schorr & Marchand (2007) melalui pathway mapping initiative, menerangkan beberapa langkah dan tindakan preventif bagi terjadi dan berlanjutnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak, yaitu (i) Anak dan remaja dipelihara, aman dan saling terkoneksi; (ii) Keluarga kuat dan saling mendukung; (iii) mengidentifikasi akses keluarga terhadap pelayanan-pelayanan serta dukungan; (iv) keluarga bebas dari penyalahgunaan zat-zat terlarang dan gangguan mental; (v) komunitas yang saling peduli dan responsif; dan (vi) masyarakat yang memiliki kapasitas dalam bertindak terhadap kerentanan.

Guna menghindari dan mencegah kasus kekerasan terhadap anak ini, semua pihak dari anggota keluarga, masyarakat sampai pemerintah perlu bersama-sama peduli dan turun tangan guna memperkecil jumlah penelantaran terhadap anak, memperkecil dampak negatif kekerasan dan pada akhirnya dapat lebih mensejahterakan anak serta memaksimalkan tumbuh kembangnya.

Sumber Referensi

DePanfilis, D. (2006). Child Neglect: A Guide for Prevention, Assessment, and Intervention.U.S. Department of Health and Human Services Administration for Children and Families Administration on Children, Youth and Families Children’s Bureau Office on Child Abuse and Neglect.Child Maltreatment Prevalence, Incidence and Consequences in the East Asia and Pacific Region:  A Systematic Review of Research Strengthening Child Protection Systems Series: No 1. (2012). United Nations Children’s Fund, Measuring and Monitoring Child Protection Systems: Proposed Core Indicators for the East Asia and Pacific Region, Strengthening Child Protection Series No. 1., UNICEF EAPRO: Bangkok. Mash, E. J. & Wolfe, D. A. 2010. Abnormal Child Psychology, Fourth edition. Wadsworth Cengage Learning: Belmont, CA. Schorr, L. B. & Marchand, V. (2007). Pathway To The Prevention of Child Abuse and Neglect. California: The Pathways Mapping Initiatives. Retrieved from www.PathwaysToOutcomes.org. Schroeder, C. S. & Gordon, B. N. (2002) Assessment and Treatment of Childhood Problems: A Clinician’s Guide (2nd Ed.). New York: Guilford Press. Solihin, L. (2004). Tindak Kekerasan Pada Anak dalam Keluarga. Jurnal Pendidikan Penabur, No. 03, hal 129-139. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *