Semua Pihak Wajib Dukung Keberlangsungan Perdamaian
Balai Syura Temukan Belum Ada Qanun yang Mengatur Himne Aceh

BANDA ACEH | AcehNews.net – Balai Syura Urueng Inong Aceh (Balai Syura), menemukan ada yang tidak “beres” dengan pelaksanaan sayembara himne Aceh yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat akhir-akhir ini, yaitu belum ada qanun yang mengatur tentang ini namum sayembara sudah dilaksanakan.

Menurut lembaga yang dibentuk paska Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Ureueng Inoeng Aceh) I pada Tahun 2000, hal ini jelas melanggar Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin, SH, M.Hum menjelaskan, pembahasan dan pengesahan himne Aceh harus dihentikan karena tidak ada qanun yang mengatur. Dalam pandangan yuridis, jelasnya lagi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pada Pasal 248 ayat (3) dinyatakan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dalam Qanun Aceh. Selain itu dalam Pasal 11, ayat (6) Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh juga menyebutkan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dengan Qanun Aceh.

“Merujuk pada kedua kebijakan tersebut, sampai saat ini Aceh belum mengatur ketentuan tentang himne Aceh dalam atau dengan Qanun Aceh, sehingga pengesahan himne Aceh secara yuridis tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.

Lebih lanjut Khairani menegaskan bahwa, penting untuk memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang tersedia dalam penetapan himne Aceh, dan membuka ruang partisipasi secara luas kepada semua pihak yang ada di Aceh, dengan memperhatikan keberagaman suku, bahasa dan identitas keacehan yang ada di Aceh dalam proses penyusunan kebijakan terkait dengan himne dan kebijakan lain.

Sementaraitu, Presidium Balai Syura lainnya, Dr. Rasyidah M.Ag mengatakan, Perdamaian Aceh yang berusia 13 tahun masih terlihat rapuh dan rentan hancur jika semua pihak tidak berkontribusi menjaga dan merawatnya.

“Aceh merupakan identitas masyarakat yang plural dan beragam, setidaknya ada 12 suku dengan bahasa dan budaya  yang berbeda. Keragaman ini merupakan modal sosial yang penting untuk dikelola dengan baik, penolakan terhadap keberagaman Aceh akan berpotensi memicu gejolak sosial yang dapat menganggu keberlangsungan perdamaian di Aceh,” ujar Rasyidah.

Presidium Balai Syura ini juga mengatakan, belajar dari sejarah pengalaman berbagai bangsa menunjukkan, membangun identitas melalui penyeragaman cenderung menimbulkan potensi konflik dan kehilangan identitas lokal.

“Aceh sendiri pernah mengalami kesulitan yang besar ketika penyeragaman sistem yang dilakukan secara nasional pada masa Orde Baru yang telah merubah pola kearifan pemerintahan Gampong di Aceh. Situasi ini seharusnya tidak berulang pada saat ini melalui penyeragaman yang dilakukan oleh Pemerintahan Aceh, yang berakibat pada terabainya hak-hak warga dari suku minoritas di Aceh”, jelasnya.

Berdasarkan pro dan kontra pembahasan himne tersebut, Balai Syura merekomendasikan kepada Pemerintahan Aceh, pertama; mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan dalam Pasal 248 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Pasal 11 ayat (6) Qanun Aceh Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, dalam mengambil keputusan mengenai Himne Aceh.

Kedua; menghentikan semua proses penetapan Himne Aceh karena belum ada qanun yang mengatur. Dan ketiga; membuka ruang partisipasi public seluas-luasnya melalui forum-forum dialog dan konsultasi untuk mengakomodir pandangan yang beragam dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya masyarakat dari suku-suku asli di Aceh, terkait dengan proses penyusunan Qanun dan penetapan himne.

“Balai Syura juga menyerukan kepada semua pihak agar menggunakan cara-cara komunikasi yang kondusif, tidak intimidatif dan provokatif dalam menyikapi perbedaan pandangan tentang Himne Aceh ini, dalam rangka memperkuat dan menjaga perdamaian Aceh,” demikian kata Rasyidah.

Balai Syura merupakan lembaga yang dibentuk paska Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Ureueng Inoeng Aceh) I pada Tahun 2000. Balai Syura diberikan mandate untuk mengawal Rekomendasi Duek Pakat Ureueng Inoeng Aceh (DPIA) yang merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan Perempuan Aceh, yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. 

Saat ini Balai Syura memiliki keanggotaan 202 organisasi perempuan di 23 Kabupaten/Kota, dan kantor cabang di 13 Kabupaten/Kota. Rekomendasi DPIA IV Tahun 2017 diantaranya adalah, melakukan advokasi tentang perempuan dan konflik sosial yang sangat terkait dengan perdamaian Aceh yang berkelanjutan.

Menanggapi pro dan kontra di masyarakat tentang himne Aceh yang dirasa belum mencerminkan keragaman identitas yang ada di Aceh, khususnya keberagaman suku dan juga bahasa, serta prosesnya tidak memenuhi perudang-undangan yang berlaku. (Saniah LS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *