Aramanyang, Pesisir yang Terlupakan  

Amat Ramanyang, merupakan sebuah pulau yang terletak di perairan Lhok Krueng Raya. Menurut cerita rakyat, aramanyang merupakan sebuah nama dari seorang anak  kaya raya yang dikutuk oleh ibunya karena durhaka, sehingga Amat Ramanyang beserta kapalnya menjadi batu.

Berdasarkan cerita rakyat tersebut pulau ini kemudian  diberi nama pulau Aramanyang. Terlepas dari cerita rakyat tersebut, disekitar pulau Aramanyang yang merupakan daratan utama juga menyimpan bukti sejarah dari beberapa kerajaan di Aceh,  antara lain, Kerajaan Lamuri, Benteng Inong Balee, dan sejarah perjuangan panglima perang laut wanita di Aceh yaitu Laksamana Malahayati.

Kegagahan dan ketangguhan Malahayati dan armadanya telah terbukti dimana pada 21 Juni 1599 M, pasukan Belanda yang dikepalai oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman, ditaklukan oleh pasukan Inong Balee. (Sumber : penulis wanita, Marie van zeggelen, dalam bukunya: Oud Glorie).

Bukti ini ditujukan, di sepanjang pesisir pantai daratan banyak ditemukan Benteng Inong Belee pada zaman itu benteng tersebut dijadikan tempat latihan militer pasukan inong balee (inong balee dalam bahasa Indonesia artinya janda) penyimpanan alat perang, serta sebagai pertahanan laut Aceh dan beberapa bunker yang merupakan sisa peninggalan Belanda.

Selain menyimpan nilai sejarah, wilayah pesisirnya yang dikenal dengan pantai Aramanyang memiliki potensi keanekaragaman hayati  seperti, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem lamun. Ketiganya merupakan  ekosistem pesisir yang saling berkaitan dan tidak banyak di temui secara lengkap di pesisir Provinsi Aceh, sehingga daerah ini sangat cocok dijadikan sebagai kawasan pengembangan ilmu pengetahuan berupa penilitian dan pendidikan.

Keberadaan dari tiga ekosistem yang kompleks di pantai  tersebut juga memiliki manfaat secara fisik, biologis sosial dan perekonomian bagi masyarakat setempat. Melengkapi keanekaragaman yang masih tersebunyi itu, perairan pantai Aramanyang juga merupakan habitat dari spesies langka yang dilindungi.

Berdasarkan informasi dari masyarakat dan nelayan setempat, perairan tersebut merupakan habitat mamalia laut jenis dugong (latin: Dugong dugon) . Masyarakat biasa menyebut hewan ini dengan sebutan “duyung” atau “keubeu laot”. Selain itu, perairan ini juga merupakan habitat penting dari penyu dan berbagai jenis ikan ekonomis.

Potensi yang Terancam

Berbicara mengenai keanekaragaman hayati di perairan Aramanyang, Ocean Diving Club (ODC) yang merupakan unit kegiatan mahasiswa pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala telah melakukan studi selama lima tahun berturut-turut. Aspek kajian ODC selama lima tahun tersebut adalah kondisi terumbu karang dan ikan karang dengan melakukan kegiatan monitoring.

Seperti yang disampaikan pada kegiatan “Seminar Reff Check Selama 5 Tahun (2009-2013)” pada beberapa bulan lalu, kondisi terumbu karang di daerah ini mengalami penurunan setiap tahunnya dan saat ini “berstatus buruk”. Begitu juga halnya dengan kondisi hutan mangrove dan lamun yang secara bertahap telah mengalami degradasi.

Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap perekonomian nelayan, dimana dengan potensi yang dimiliki serta ancaman yang meningkat akan berdampak terhadap  hasil tangkapan ikan, seperti diungkapkan dalam hasil survei sosial ekonomi  oleh ODC dimana hasil tangkapan nelayan mengalami kecenderungan menurun dari waktu ke waktu.

Selain potensi sumberdaya hayati, pantai Aramanyang juga memiliki potensi jasa lingkungan untuk kegiatan wisata pantai atau wisata bahari. Namun selama ini belum banyak yang melirik pesona pantai Aramanyang sebagai salah satu daftar tujuan wisata yang layak untuk dikunjungi.

Saat ini pantai Aramanyang hanya dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan tangkap baik oleh nelayan setempat atau nelayan Krueng Raya pada umumnya. Dalam mencari ikan nelayan setempat masih menggunakan beberapa alat tangkap tradisional seperti pukat pantai dan pancing.

Walaupun kawasan ini belum begitu dikenal, tapi banyak pengunjung sekedar hobi yang datang melakukan aktifitas penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing dan tembak ikan. Namun ada kebiasaan buruk yang dilakukan oleh pemancing di daerah pantai yang berkarang.

Banyak pemancing yang berdiri dan menginjak terumbu karang pada saat perairan surut atau berjalan di atas karang  yang masih hidup saat menuju lokasi pemancingan sehingga banyak terumbu karang yang patah dan hancur akibat aktifitas tersebut.

Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka akan fungsi dan manfaat termbu karang sebagai salah satu sumber penopang perekonomian masyarakat. Selain cara memancing yang tidak ramah tersebut, kegiatan menangkap ikan menggunakan racun (potassium) dengan modus menembak ikan juga menjadi penyebab lainnya kerusakan terumbu karang di daerah ini.

Pentingnya Mengelola Laut

Melihat kondisi ekosistem Aramanyang yang terus memburuk, Lembaga Hukum Adat Laot beserta masyarakat setempat berinisiatif untuk melakukan pengelolaan di kawasan lhok Kreung Raya.

Pengelolaan ini telah dilakukan sejak tahun 2013, dimana sejauh ini telah diberlakukan pembatasan dan larangan pengguanan alat tangkap oleh Panglima Laot Lhok Krueng Raya diantaranya: melarang aktifitas penangkapan menggunakan bom, potassium/racun/bius dan menembak ikan di daerah pengelolaannya.

Hal ini telah dibuktikan dengan memasang papan informasi yang sederhana tentang larangan-larangan tersebut. Namun demikian, pengelolaan yang dilakukan Panglima Laot Krung Raya  tidak akan berjalan maksimal jika masih sering terjadi ancaman-ancaman yang tidak dapat di kontrol serta perlunya partisipasi masyarakat secara konsisten untuk menjaga dan mengelola lumbung perikanan mereka.

Selain itu, sentuhan dari pemerintah khususnya pemda Aceh Besar untuk melakukan upaya pengelolaan yang lebih kongkrit dan nyata untuk mendukung inisiatif dan upaya nyata dari Panglima Laot setempat.

Semakin tingginya laju pertumbuhan masyarakat maka tingkat kebutuhan protein dari laut berupa ikan juga akan semakin meningkat, sehinga sebesar apapun subsidi yang diberikan kepada masyarakat tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan di tingkat masyarakat, sebagai contoh; masyarakat akan selalu butuh ikan untuk asupan protein; nelayan akan selalu butuh ikan untuk dijual dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Apalagi hal tersebut merupakan kebiasaan sehari-hari (mencari ikan) yang telah dilakukan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlanjutan kelestarian sumberdaya hayati pantai Aramanyang adalah sebuah urgensi yang harus dipikirkan bersama.

Sejauh ini pemerintah kabupaten Aceh Besar telah berupaya melakukan usaha pengelolaan, salah satunya dengan rehabilitasi terumbu karang di pantai Lhok Mee. Namun, upaya ini belum cukup untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas sumberdaya hayati di di wilayah ini.

Dari sekelumit cerita baik potensi dan ancaman yang disebutkan di atas hendaknya pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait bekerja sama dalam melakukan upaya pengelolaan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan dan wisata yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.  Mengutip slogan Jusuf Kalla “Lebih cepat lebih baik”!!. (Dikirim Oleh Ocean Diving Club (ODC) Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *