Aisyah Karim, SH : Paradoks Wisata Islami Aceh

AcehNews.net – Massa yang didominasi kaum ibu di Gampong Keutapang Mameh, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur, menghadang pengunjung yang hendak berwisata ke Pantai Keutapang Mameh, di gampong tersebut, pada 16 September 2018 lalu.

Kaum ibu mendirikan tenda di jalan masuk pantai dan menghentikan setiap pengunjung yang hendak berwisata ke pantai tersebut. Saat menghentikan kendaraan, kaum ibu ini memberitahukan kepada pengunjung bahwa pantai ditutup dan lokasi itu tidak dibolehkan untuk berwisata (Sumber: Serambi Indonesia).

Turunnya para ibu dilatarbelakangi oleh pengunduran diri teungku imum gampong tersebut dari jabatannya, karena tidak mampu menanggung dosa para pengunjung yang mengabaikan Syariah Islam. Selama ini pantai Keutapang Mameh memang ditutup dari aktivitas wisata. Hal itu ditunjukkan dengan adanya pamflet bertuliskan pemberitahuan “Pantai Ditutup” yang dipasang di pintu masuk pantai. Namun demikian, pengunjung tetap ramai berwisata ke pantai tersebut dan tidak memedulikan imbauan warga.

Beberapa tahun terakhir menguat wacana terkait wisata halal, wisata syariah, wisata religi dan wisata pro muslim (muslim friendly tourism) di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan Committee for Economic and Commercial Cooperation of the Organization of the Islamic Cooperation pada Februari, ada sekitar 116 juta perjalanan wisata halal yang dilakukan oleh wisatawan Muslim hingga 2014.

Diproyeksikan pada 2020, jumlah tersebut akan meningkat menjadi sekitar 180 juta atau naik sebanyak 9,08 persen. Sementara di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir, jumlah tersebut juga naik sebanyak 15,5 persen.Tercatat, total pengeluaran wisatawan Muslim di dunia pada 2014 mencapai US$ 142 miliar (sekitar Rp1,8 triliun). Sebagai perbandingan, pengeluaran wisman dari Arab Saudi rata-rata US$ 1.750 per kunjungan (sekitar Rp22 juta), sedangkan wisman dari Asia US$ 1.200 (sekitar Rp15 jutaan) per kunjungan. Pertumbuhan pariwisata halal di dunia pun ikut meningkat menjadi 6,3 persen, atau lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pariwisata dunia sebesar 4,4 persen dan pariwisata ASEAN sebesar 5,5 persen (Sumber: CNN Indonesia).

Aceh dengan berbagai destinasi wisata muslimnya tak ingin ketinggalan memanfaatkan peluang ini. Pada 2016 lalu Aceh meraih Anugerah Pariwisata Halal Terbaik 2016 untuk kategori destinasi budaya ramah wisata muslim terbaik. Tentu kemenangan tersebut berdampak langsung pada meningkatnya program pariwisata Aceh hingga hari ini. Komitmen Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota dan stakeholder terkait lainnya untuk menjadikan pariwisata sebagai unggulan semakin terlihat.

Tahun 2018 ini Pemerintah Aceh menargetkan kunjungan 100 ribu wisatawan mancanegara. Tahun 2017 kunjungan wisatawan mencapai sekitar 2.944.169 orang, terdiri dari 2.865.189 wisatawan nusantara dan 78.980 wisatawan mancanegara. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2016 yang mencapai 2.865.189, terdiri dari 2.077.797 wisatawan nusantara dan 76.452 wisatawan mancanegara (Sumber: aceh.tribunnews.com).

Daya tarik wisata Aceh tidak hanya terletak pada keindahan geografisnya saja tetapi didukung dengan destinasi cagar budaya, wisata Islami, wisata tsunami hingga cita rasa kuliner yang unik. Semua pihak dilibatkan dalam kemajuan pariwisata yang dirangkum dalam Calendar of Event (COE) Aceh 2018. Jika kita merunut kembali setidaknya telah dan akan dilaksanakan beberapa event diantaranya, Aceh International Marathon, Aceh Internasional Freediving di Sabang, Aceh International Surfing Championship di Simeulue dan juga digelarnya dua event yang masuk dalam 100 Top event Nasional 2018, Aceh Culinary Festival dan Aceh International Rapa`i Festival.

Industri pariwisata Aceh pun sedang menggeliat, dengan semakin viralnya wisata Aceh di dunia maya. Semangat branding yang dilontarkan adalah “The light of Aceh” atau “Cahaya Aceh”.

Namun, dalam pelaksanaannya wisata Islami hanya tinggal sebatas wacana saja. Sebagian besar destinasi wisata Aceh belum serius menerapkan wisata Islami. Miris ketika khalwat, ikhtilat, dan pergaulan bebas terjadi di semua destinasi objek wisata pantai Aceh. Berkunjunglah ke objek-objek wisata pantai di Banda Aceh. Rata-rata tempat tersebut telah dikelola dengan baik, dilengkapi fasilitas yang dihias cantik. Hanya saja kita akan mengelus dada ketika mampir ke sana. Tempat-tempat itu bebas digunakan oleh siapa saja termasuk pasangan non mahram.

Pasangan non mahramlah yang menjadi pengunjung terbanyak dengan perilaku mereka yang memprihatinkan. Tidak ada rambu-rambu atau himbauan tentang wisata Islami, tidak ada pengawasan, tidak ada apa-apa. Wisata Islami tinggal wacana.

Maka ketika para Ibu di Keutapang Mameh sampai turun ke jalan menyelamatkan daerahnya dari azab Allah semata-mata didorong oleh keimanannya. Ini adalah upaya terakhir mereka ketika kaum Bapak dan Pemuda sudah menepi. Harus diakui bahwa perilaku para pengunjung objek wisata memang mengharuskan para ibu di Keutapang Mameh menutup pantainya. Wajar jika mereka khawatir perilaku permissive yang dibawa oleh pengunjung akan berdampak bagi anak-anak dan generasi mereka. Belumlah lagi membayangkan ancaman Allah atas pembiaran itu.

Pariwisata tidak hanya berdampak terhadap meningkatnya perekonomian, karena ada persoalan yang jauh lebih penting dari semua itu. Keimanan, akan dikemanakan aqidah kita. Sebagai contoh kita bisa melihat Sabang, mungkinkah wisata Islami diterapkan di Sabang ? Sabang adalah bagian dari Aceh, negeri kaum muslimin. Sebagai muslim kita memahami bahwa setiap tindak tanduk kita terikat dengan hukum syara`.

Wisatawan asing non muslim diizinkan untuk masuk, akan tetapi keberadaannya di Aceh harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak masyarakat Aceh dan kebudayaannya. Mereka tidak boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan bukan pakaian yang biasa dipakai di negaranya yang terbuka.

Program wisata Islami memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Ini dikarenakan kebutuhan wisata Islami bukan hanya merujuk pada aspek fisik saja. Bukan hanya soal menutup aurat, makanan halal, fasilitas shalat, toilet dengan fasilitas bersuci dan layanan Ramadhan. Ada aspek non fisik seperti bebas aktifitas maksiat dan fasilitas wisata yang terpisah antar gender.

Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintah-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu.

Sudah saatnya kita kembali kepada pemahaman wisata dalam Islam yaitu safar untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’ala, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap ke-Esaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiban hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20).

* Penulia PNS dan Ibu Rumah Tangga yang tinggal di Pereulak, Aceh Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *