Hari Gajah Sedunia
Agustus 2020, Konflik Gajah dan Manusia di Aceh Sudah 76 Kasus, di Aceh Utara Terjadi 3 Kali dalam Sebulan

LHOKSUKON | AcehNews.net – Bertepatan dengan 12 Agustus 2012 lalu, PBB telah menetapkan Hari Gajah Sedunia (World Elephant Day). Sehingga pada 12 Agustus 2020, masyarakat pencinta hewan belalai di Aceh ikut memperingatinya.

Sebagaimana kita ketahui gajah merupakan mamalia darat terbesar yang ada di dunia saat ini, dan juga gajah merupakan mamalia yang cerdas dan juga cinta damai.

Dewasa ini juga kita banyak melihat di TV dan juga membaca artikel tentang keberadaan populasi gajah semakin menurun tiap tahunnya, dan juga banyak nya terjadi konflik antara gajah dengan manusia khususnya di Aceh pada 2020 sampai dengan Agustus sudah terjadi 76 kasus, Tentu saja hal ini tidak terlepas dari berbagai penyebab dan faktor lainnya, sehingga terjadi konflik gajah dan manusia.

Pada Rabu (12/08/2020), AcehNews.Net menghubungi Leader Conservation Response Unit (CRU) Cot Girek, Aceh Utara Zaikyattuddin Syah, mengatakan, bahwa konflik gajah dan manusia selama ini terjadi Karena ruang lingkup gajah itu sendiri yang sudah sangat berkurang, hutan pun banyak yang sudah beralih fungsi.

“Sejauh ini kita belum punya tata ruang yang jelas, dan sejauh ini Aceh Utara tinggal sedikit yang di jadikan kawasan hutan lindung. Dan adanya aktivitas yang terlalu besar di atas membuat kawanan gajah itu turun karena habitatnya terganggu,” jelas Zaikyattuddin Syah.

Salah satu contoh kejadian konflik gajah selama ini yang terjadi di Simpang Kramat, karena adanya aktivitas diatasi membuat gajah turun karena habitatnya terganggu.

Sebuta dia, dulunya gajah hanya turun sekitar tiga Minggu sekali, tetapi sekarang sudah tidak lagi karena habitatnya terganggu,” papar Zaikyattuddin Syah.

Selanjutnya ia mengatakan, konflik yang terjadi, kembali lagi kepada manusia, apakah mau berbagi ruang dengan satwa liar, dan ini merupakan salah satu solusi.

“Kemudian kita selaku Khalifah dimuka bumi mau berbagi ruang dengan satwa liar ini berarti tidak akan terjadi masalah,” ujarnya.

Selama ini menurut nya, pihak CRU ketika ada laporan tentang kawanan gajah liar, pihak hanya membantu menggiring gajah menjauh dari perkebunan warga dengan cara meledakkan mercon, secara manual.

Di Aceh Utara untuk jumlah konflik gajah tiap bulan nya selalu ada laporan minimal tiga kali dalam sebulan nya.

“Paling banyak itu di empat kecamatan , Kecamatan Simpang Kramat, Kuta Makmur, Nisam Antara, dan Geureudong Pase. Itu kasus yang paling mencuat sampai Agustus 2020 ini,” sebut Zaikyattuddin Syah.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Agus Arianto, secara terpisah mengatakan, Konflik gajah liar dengan manusia pada 2020 sampai Agustus itu ada 76 Kasus yang terjadi di seluruh Aceh, mayoritas terjadi di Aceh Pidie, Aceh Timur, dan juga Aceh Utara.

“Upaya-upaya yang selama ini kita lakukan adalah melakukan komunikasi mengajak pemerintah setempat untuk berperan aktif melakukan penanganan. Tentu nya ada beberapa strategi yang bersama-sama sedang kita lakukan,” jelas Agus.

Lanjutnya Saat ini sudah terbentuk Tim Terpadu yang di-SK-kan oleh Gubernur Aceh dan sekarang sedang diajukan revisi oleh DLHK untuk pembaharuannya.

“Dan strategi- strategi yang telah kita buat bersama-sama antara lain pembuatan beril melalui parit, pemasangan kawat kejut listrik atau power fencing yang sedang kita pasang di Bener Meriah, dan di Aceh Pidie.

Sementara itu untuk Aceh Utara sendiri pihak BKSDA akan mencoba melakukan komunikasi-komunikasi dengan Pemerintah kabupaten Aceh Utara untuk penanganannya.

“Karena kita lihat di Aceh Utara sendiri posisi Gajah nya terisolir diantara perkebunan masyarakat dan HGU perusahaan, oleh karena itu kami butuh peran semua pihak untuk dapat melakukan penanganan penanganan konflik gajah yang ada di Aceh Utara,” tegas Agus.

Namun secara umum sekarang BKSD Aceh, kata Agus, mencoba menerapkan strategi yang dibuat, pada akhirnya nanti pihaknya akan mencari wilayah-wilayah yang saat ini sudah dieliminasi dan sudah dirancang menjadi kawasan ekosistem esensial yang nantinya akan menjadi koridor-koridor dari gajah liar tersebut.Sehingga dapat meminimalisir konflik yang terjadi selama ini di Aceh secara umum.

Penyebab Terjadi Konflik
Menurut Kepala BKSDA Provinsi Aceh penyebab terjadinya konflik saat ini secara umum sudah diketahui antara lain karena adanya aktivitas secara ilegal di dalam kawasan yang merupakan habitat dari gajah.

Yaitu adanya perburuan, pemasangan jerat, itu juga menjadi pemicu terjadinya konflik, kemudian juga perambahan hutan. Dimana kawasan hutan diubah menjadi areal budidaya.

“Nah, itu semua menjadi faktor penyebab terjadinya konflik antara satwa dengan manusia,” ucapnya.

Solusinya
Dirinya berharap di Hari Gajah Sedunia ini, agar masyarakat bersama-sama bergerak bersatu padu dalam upaya penanganan-penanganan konflik yang terjadi, suoaya gajah bisa lestari masyarakatnya juga bisa sejahtera.

“Bagaimana eksistensi antara gajah dan manusia kita ciptakan kedepan seperti itu. Bagaimana konflik kita merubahnya menjadi suatu peluang atau tantangan sehingga masyarakat bisa memanfaatkan itu sebagai alternatif usaha,” ucapnya lagi.

Ia mencontohkan, kalau memang dibuat kawasan ekosistem esensial yang pada akhirnya itu bisa jadi sangkasuari bagi gajah-gajah tersebut.

“Kenapa itu tidak kita kembangkan sebagai areal ekowisata gajah, melihat gajah di alam liar. Nah hal-hal itu tentu saja menjadikan upaya upaya-upaya penanganan dan peluang-peluang usaha bagi pemerintah maupun masyarakat,” demikian tutup Agus. (Syahrul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *