Aceh, Tenggelam dalam “Tsunami” Korupsi  

Aceh, provinsi yang kaya Sumber Daya Alam (SDA), tidak luput dari aktivitas korupsi oleh pejabat di kursi empuk negeri. Penyakit para pejabat ini seolah sudah menjadi tradisi. Terbukti jumlah kasus korupsi pada Januari-Juni 2015 sudah mencapai 38 kasus, (Bisnis.com/24/07/14). Anehnya, aktivitas korupsi ini terus terjadi meskipun para pejabat dan presiden telah berganti setiap periodenya.

Ironis. Aceh yang bergelar masyarakat madani dan harmonis ternyata krisis mental dan iman dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Mereka telah gagal dalam mengatasi korupsi bahkan selama kepemimpinannya korupsi semakin eksis.Lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) merilis data korupsi di Aceh pada 2013 meningkat 50 persen dibandingkan 2012 lalu.

Akibatnya, negara mengalami kerugian mencapai Rp513,5 miliar,(Merdeka.com/16/01/14). Sedangkan pada Desember 2014, Kejaksaan Tinggi Aceh menangani 216 perkara korupsi mulai penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, (antaraaceh.com/10/12/14).

Berdasarkan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Aceh dari 2009-2013 menemukan total kasus hibah di Aceh 572 kasus, dengan potensi merugikan keuangan negara mencapai Rp468,448,007,538 dari total dana yang dikelola Rp500 miliar. Bila dikalkulasikan ternyata hanya 10 persen yang tidak dikorupsi sedangkan 90 persennya terindikasi korupsi. Selain itu,  GeRAK juga menemukan ada 43 kasus dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp796,6 miliar, (harianaceh.com).

Tidak terkecuali di tahun ini, korupsi terus menjamur seiring dengan anggaran pelaksanaan UU Desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2015, Aceh mendapat Dana Otonomi Khusus Provinsi sebesar Rp7,057 triliun, (http://setkab.go.id/27/03/15).

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dana ini pun tidak luput dari incaran “Tikuskotor ”para oknum di pemerintahan. Menurut MaTA,  ada sembilan modus korupsi yang dilakukan oleh koruptor di Aceh. Di antaranya, penyalahgunaan anggaran dan wewenang, adanya laporan fiktif, anggaran dipotong, proyek ditelantarkan dan bahkan ada juga yang melakukan mark up, tidak  sesuai spek serta adanya penggelapan. Untuk mark up saja negara menanggung kerugian sebesar Rp261,2miliar. Sedangkan untuk penggelapan negara merugi sebanyak Rp233,6miliar. (merdeka.com/16/01/14).

Pejabat Aceh Perlu Benahi Iman

Sifat serakah para pejabat tentu membawa malapetaka di masyarakat.Kemiskinan dan pengangguran akan terus bertambah bila aktivitas korupsi tidak segera dibenahi.

Sifat serakah ini sangat terlihat dari borosnya pejabat negara saat mengalokasikan anggaran pengeluaran.Berdasarkan penyelidikan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, 2013 terdapat pemborosan dana bagi Anggota DPRA yang sebelumnya hanya sebesar Rp200,000 (perjalanan dalam daerah) – Rp300,000 (luar daerah), meningkat drastic menjadi Rp800,000 untuk setiap anggota DPRA dan masih banyak pemborosan dana lainnya yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat (merdeka.com/20/08/13).

Seharusnya para pejabat yang merupakan representative masyarakat dapat memberikan teladan yang baik bagi rakyat, mengayomi rakyat dengan ikhlas ditambah dengan status mereka sebagai wakil rakyat.Namun fakta menunjukkan hal lain, bahwa banyak pejabat negara yang abaiakan kewajibannya dan berpestapora menghabiskan uang rakyat.

Selain membenahi manpa rapejabat yang sudah bengkok perlu juga membenahi penerapan hukum yang saat ini begitu tumpul. Hal ini terbukti bahwa ada beberapa kasus korupsi yang merugikan negara dan rakyat dibekukan, seperti kasus korupsi Yayasan Cakra Donya, Lhokseumawe Rp1 miliar bersumber dana aspirasi Anggota DPRA dari wilayah pemilihan Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Beberapa jenis kasus yang dikelola pihak ketiga seperti, kasus traktor di Dinas Pertanian Aceh, pengadaan boat 40 GT di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Pengerukan Kuala Gigeng di Aceh Besar, Alkes RSU Aceh Barat Daya dan kasus lainnya yang pada akhirnya tidak terselesaikan bahkan pada 2014 GeRAK menemukan fakta korupsi yang hasil auditnya tak kunjung selesai dihitung oleh Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kasus ini diantaranya, pengadaan traktor di Dinas Pertanian Aceh, Kasus Alkes di RSU Abdya, Kasus korupsi di PDPL di Lhokseumawe, (harianaceh.com).

Cacatnya aturan yang diterapkan membuat pelanggar hukum tak jera dan negara tetap dalam kerugian yang besar. Salah satu kecatatan aturan dalam memberantas korupsi adalah memberikan hukuman subside berupa kurungan penjara dan pembayaran kepada negara semampu mereka, sebagaimana yang dikatakan Kajati Aceh, pembayaran uang pengganti kerugian negara dari para terpidana yang sudah berhasil dieksekusi ini pada 2014 sebesar Rp10,078,981,587.

Namun, uang pengganti Rp 10 miliar lebih itu tidak semuanya berbentuk pengembalian uang, melainkan sebagian besar para terpidana menjalani hukuman subside sebagai pengganti karena tak membaya ruang pengganti tersebut.Tentu bentuk hukum yang demikian tidak membuat para koruptor taubat ditambah lagi adanya aktivitas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang masih dipertahankan.

Syariah Islam Solusi Mengakhiri Korupsi

Aceh yang memiliki hak otonomi dalam menerapkan syariah Islam ternyata tak mampu membungkam para koruptor kelas kakap.Tentu ini bukan salah syariah Islam. Pasalnya Allah sudah bersumpah bahwa Islam itu rahmatullil’alamin. Penerapan syariah Islam yang tidak sempurna lah yang menyebabkan mengakarnya tradisi korupsi. Selama ini Aceh hanya menerapkan syariah Islam dalam beberapa perkara seperti jinayat, Judi dan sebagainya, namun dalam perkara mencuri, korupsi, pembunuhan dan banyak perkara lainnya masih belum diputuskan sesuai syariah Islam. Akibatnya pencuri, korupsi semakin menjalar dan mengakar.

Syariah Islam diturunkan Allah sebagai aturan kepada makhluk yang berakal agar hidup sejahtera. Dalam penerapan syariah Islam terdapat aspek jera dan pengampunan dosa di akhirat kelak (Khusus bagi muslim) bagi pelaku kejahatan. Namun pemerintah Provinsi Aceh tampak nyama sih setia menerapkan aturan Demokrasi – Kapitalisme yang merupakan aturan buatan manusia.

Telah jelas pula bahwa aturan buatan manusia sarat kepentingan individu, kelompok dan keluarga yang mengakibatkan rusaknya hukum yang diciptakan. Kecacatan system buatan manusia telah kita rasakan saat ini, bagaimana kucuran dana mengalir deras ke kantong pejabat kotor tanpa sanksi yang memberikan efek jera kepada mereka.

Selain itu, system Demokrasi sarat dengan KKN yang pada akhirnya memperlambat pembangunan pelayanan umum. Namun, berbeda halnya dengan syariah Islam yang adil dan memuliakan manusia.Terbukti pada masa kejayaan Islam tingkat pejabat yang bermasalah sangat jarang ditemukan. Hal ini diakibatkan sistem Islam memiliki keunikan tersendiri, diantaranya:

  1. Kokohnya suasana keimanan, Islam mampu menciptakan suasana keimanan yang baik mulai dari masyarakat hingga pejabat. Dimana negara memfasilatasi masyarakat dengan membentuk karakter muslim sejati yang diajarkan oleh para ulama.
  2. Generasi yang cerdas dan bermental pemimpin, Islam mengharuskan negara menjalankan kewajibannya untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk jiwa pemimpin yang taat pada Allah.

InsyaAllah semua ini akan terwujud bila kita bersungguh-sungguh menerapkan syariah Islam secara sempurna dan meninggalkan segala bentuk aturan yang tidak berlandaskan syariah Islam. Wallahu’alam….(Moni Mutia Liza, Mahasiswi FKIP FisikaUnsyiah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *