65 Perusahaan Tambang Beroperasi di Kawasan Hutan Lindung

BANDA ACEH –  Dari 134 perusahaan tambang di Aceh yang sudah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), sebanyak 65 diantaranya masuk dalam wilayah hutan lindung dan empat perusahan diduga masuk hutan konservasi. Hal itu bedasarkan hasil kajian dan data yang ditemukan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh.

“Evaluasi terhadap IUP yang telah diberikan menjadi hal mutlak dilakukan terutama dalam mendorong tata kelola pertambangan di Aceh ,”ujar Kadiv Kebijakan dan Anggaran, GeRAK Aceh, Fernan di Banda Aceh, kemarin, di Banda Aceh.

Menurutnya evaluasi tentang izin sangat penting dilakukan, mengingat kontribusi yang diperoleh dari izin yang sudah diberikan kepada beberapa perusahaan, tidak sebanding dengan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Apalagi diketahui banyak perusahaan yang sudah mengantongi izin masuk dalam kawasan hutan lindung dan konservasi,” ungkap Fernan kepada wartawan.

Fernan menyebutkan, dari sekian besar tambang yang sudah memiliki IUP, ada 63 perusahaan yang memegang IUP, arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan lindung, meliputi areal seluas 350.351,88 hektare. Selain itu, ada dua perusahaan yang memegang izin bersifat Kontrak Karya (KK) berada pada kawasan hutan lindung, meliputi area 49.607,88  hektare.

Pihaknya juga menduga ada empat perusahaan masuk dalam hutan konservasi, meliputi areal seluas 31.316,12 hektare. Apabila dijumlahkan keseluruhannya, baik hutan lindung maupun hutan konservasi dengan total luas area mencapai 399.959,76 hektare.

Menurut Fernan, temuan GeRAK yang paling mengejutkan adalah dari 65 perusahaan yang masuk hutan lindung, ada 10 perusahaan yang sudah Clean And Clean (CnC). CnC merupakan standar yang telah ditetapkan oleh Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementrian ESDM.

Perusahaan tersebut sudah tertib regulasi sert administrasi. Sehingga GeRAK menilai CnC yang telah diberikan kepada perusahaan bukan menjadi sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut sudah melakukan Praktik tata kelola yang baik.

Padahal berdasarkan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang 41 tahun 1999 jo. Undang-Undang 19 Tahun 2014, pengunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Selanjutnya pada ayat (4) ditegaskan bahwa kawasan hutan lindung di larang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Selama ini, GeRAK juga menduga ketika izin dikeluarkan, Pemerintah kabupaten/kota tidak pernah melakukan pemetaan terlebih dahulu terkait wilayah hutan lindung dan hutan konservasi.

Dalam hal ini, Bupati/Walikota yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan izin, harus bertanggung jawab terhadap perusahaan yang masuk dalam hutan lindung. “Karena kalau memang itu tidak ditindaklanjuti, kemungkinan besar hutan lindung dan hutan konsevasi di Aceh akan rusak,”paparnya. (Agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *